BANYUMAS, iNewsPantura.id - Wayang Cumplung adalah salah satu kesenian tradisional khas Banyumas yang unik dan sarat makna. Nama “Cumplung” berasal dari bunyi alat musik pengiring berupa kendil atau wadah tanah liat yang diberi air, lalu dipukul hingga berbunyi cumplung-cumplung. Suara sederhana itulah yang menjadi ciri khas sekaligus roh pertunjukan ini.
Berbeda dengan wayang kulit atau wayang golek, Wayang Cumplung dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti kayu, batok kelapa, atau batang pisang. Namun, kesederhanaan itu justru menghadirkan keakraban dan kelucuan tersendiri. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa ngapak Banyumasan, yang ceplas-ceplos, apa adanya, penuh humor, sekaligus mengandung sindiran sosial yang menggelitik.
Cerita yang ditampilkan dalam Wayang Cumplung tidak terbatas pada kisah Ramayana atau Mahabharata, tetapi juga diambil dari cerita rakyat, sejarah lokal, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Dari sawah, pasar, persoalan rumah tangga, hingga guyonan khas wong Banyumas, semua bisa hadir di panggung Wayang Cumplung.
Pertunjukan ini bukan hanya tontonan, tetapi juga tuntunan. Di balik gelak tawa penonton, tersimpan pesan moral tentang kejujuran, kebersamaan, kesabaran, dan semangat gotong royong. Wayang Cumplung menjadi cermin karakter masyarakat Banyumas yang sederhana, kreatif, sekaligus humoris.
Kini, Wayang Cumplung dipandang sebagai salah satu identitas budaya Banyumas yang perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi muda, agar kearifan lokal tidak hilang ditelan zaman. Dari kesederhanaannya, Wayang Cumplung mengajarkan kita bahwa hiburan sejati tidak harus megah, tetapi cukup yang bisa menyentuh hati dan menghadirkan senyum.
Melestarikan dan mengenalkan kembali wayang cumplung inilah yang membuat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jenderal Soedirman menyelenggarakan Seminar Hybrid bertajuk “Kesenian Wayang Cumplung sebagai Sarana Edukasi Pendidikan Karakter di Era Digital” pada Rabu, 3 September 2025.
Acara menghadirkan narasumber Titut Edi Purwanto dan Eni Nur Aeni, dengan moderator Lynda Susana Fatmawaty. Keduanya memaparkan peran penting kesenian wayang cumplung sebagai bentuk pertunjukan khas Banyumas yang memiliki nilai edukatif dan relevansi dengan perkembangan pendidikan karakter di era digital saat ini.
Dekan FIB Unsoed, Prof. Dr. Ely Trash Rahayu, dalam sambutannya menyampaikan bahwa FIB senantiasa memberikan perhatian khusus terhadap seni dan budaya lokal. Menurut beliau, kegiatan semacam ini bukan sekadar forum kajian, tetapi juga langkah konkret untuk melestarikan kesenian tradisional melalui praktik dan workshop. “Sebagai institusi akademik, FIB Unsoed tidak hanya berhenti pada tataran teori, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan budaya melalui kegiatan nyata yang melibatkan mahasiswa dan masyarakat,” ungkapnya.
Dalam pemaparan materi pertama, Eni Nur Aeni, menekankan bahwa wayang cumplung memiliki banyak kritik sosial yang mampu membuka kesadaran masyarakat terhadap fenomena yang terjadi. Menurutnya, pesan-pesan yang terkandung dalam setiap lakon wayang cumplung relevan untuk dijadikan refleksi dan pembelajaran karakter, baik bagi generasi muda maupun masyarakat umum.
Sementara itu, Titut Edi Purwanto sebagai pembicara kedua menjelaskan bahwa dunia wayang cumplung menggambarkan realitas kehidupan yang dihuni oleh tokoh-tokoh “cumplung”—orang-orang yang seolah mengetahui banyak hal, namun sejatinya kosong. “Wayang cumplung adalah cermin bagi kita, bahwa kepandaian semu tanpa kebijaksanaan justru melahirkan kekosongan,” jelas Titut.
Dalam kesempatan ini, ia juga menampilkan pertunjukan wayang cumplung yang menjadi bagian dari Pawiyatan Seri ke-7, sehingga peserta dapat menyaksikan langsung nilai artistik dan filosofis dari kesenian tersebut.
Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya interaksi selama sesi diskusi. Para peserta, baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, seniman, maupun masyarakat umum, memberikan pertanyaan yang memperlihatkan minat besar terhadap pelestarian wayang cumplung sebagai seni tradisional yang masih sangat relevan.
Kegiatan pawiyatan ini sendiri merupakan program berkelanjutan dari Laboratorium Pertunjukan dan Seni FIB Unsoed, yang mengajak masyarakat luas untuk turut serta mengenal, memahami, sekaligus melestarikan seni pertunjukan lokal.
“Kami membuka ruang selebar-lebarnya agar masyarakat, tidak hanya di Banyumas tetapi di seluruh Indonesia, dapat belajar dan mengambil nilai dari kesenian wayang cumplung,” ujar moderator, Lynda Susana Fatmawaty.
Kepala Laboratorium Pertunjukan dan Seni, Exwan Andriyan Verrysaputro, dalam penutupannya menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini. Ia menegaskan pentingnya kontinuitas dalam setiap upaya pelestarian seni.
“Harapannya, kegiatan pelestarian dan pengembangan seni serta pertunjukan di FIB dapat terus diadakan secara konsisten. Dengan begitu, kita bisa menjaga agar seni dan budaya Banyumas tetap hidup di tengah arus globalisasi,” jelasnya.
Selain menyajikan pemikiran kritis dan penampilan seni, acara ini juga menjadi ruang dialog antara tradisi dan modernitas. Melalui format hybrid, seminar mampu menjangkau audiens yang lebih luas, sekaligus menunjukkan bahwa kesenian tradisional dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Dengan terselenggaranya seminar ini, Laboratorium Pertunjukan dan Seni FIB Unsoed semakin meneguhkan perannya sebagai wadah pelestarian budaya sekaligus pusat inovasi pendidikan berbasis seni. Wayang cumplung, dengan segala pesan filosofis dan nilai moralnya, terbukti mampu menjadi media edukasi karakter yang kontekstual di era digital.
Editor : Suryo Sukarno
Artikel Terkait