KONFLIK di keluarga hingga ranah negara seringkali disebabkan oleh komunikasi yang terjebak hanya pada perdebatan hitam putih, benar dan salah atau menang dan kalah.
Dari Film Keluarga Cemara (2) yang sedang diputar di Bioskop bioskop di Indonesia memberikan pelajaran bahwa berkomunikasi dalam keluarga memerlukan intensitas dan pemahaman bahwa tiap subjek itu berbeda.
Film produksi Visinema Pictures itu mengisahkan Abah (Ringo Agus Rahman) yang sibuk dengan pekerjaan barunya di perusahaan peternakan sehingga tak lagi punya waktu untuk melakukan beberapa kegiatan dengan anaknya yang sedang tumbuh menjadi remaja.
Emak (Nirina Zubir) sibuk dengan anak bungsunya yang sedang aktif aktifnya di usia Golden Age dengan segala ulahnya.Sementara Euis (Adhisty Zara) si anak sulung sedang tumbuh jadi anak SMA dan sibuk dengan dunianya yang baru mengenal cinta dengan teman sekolahnya. Euis mulai menuntut privasi ingin dipisah kamarnya dari sang adik dan tak lagi mau pulang sekolah bersama adiknya dengan alasan sibuk kegiatan sekolah.
Sementara Ara (widuri Putri), putri kedua yang kali ini menjadi cerita sentral, merasa kakak dan ayahnya ingkar janji, karena kakaknya tak lagi bisa pulang sekolah bersama dan ayahnya tak bisa membenahi kamar barunya. Konflik makin menjadi karena Ara merasa tak ada lagi anggota keluarganya yang percaya kepadanya yang bisa berbicara dengan ayam usai menemukan anak ayam yang diberi nama Neon, yang menjadi temannya. Ara ingin mengembalikan anak ayam itu ke keluarganya di Kampung Badak yang jauh dari kampungnya.
Penulis skenario Irfan Ramly dan sang sutradara Ismail Basbeth berhasil merangkai cerita dalam adegan demi adegan yg apik, natural dan tak berlebihan.
Sang ayah mendapatkan kesadaran bahwa tiap orang punya cara saat merasa sendiri termasuk berkomunikasi dengan hewan atau apa saja. Intensitas dan waktu untuk bersama juga sangat penting untuk bisa memahami apa kamauan anak. Dalam perspektif sosiologi ada teori aksi yang dipelopori oleh Max Weber yang bisa digunakan unyuk melihat bahwa pemaknaan pesan komunikasi bisa dilakukan dengan adanya aksi dari seseorang untuk mau intens dalam memberikan pemahaman bersama.
Teori aksi adalah pandangan dari ilmu sosiologi yang menekankan kepada individu sebagai sebuah subjek. Teori aksi memandang tindakan sosial sebagai sesuatu yang secara sengaja dibentuk oleh individu dalam konteks yang telah diberinya makna.
Weber menyatakan bahwa tindakan dan perilaku individu dalam hubungan sosial terhadap orang lain harus memiliki maknanya tersendiri. Tindakan sosial merupakan segala tindakan individu selama masih mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya yang ditujukan untuk individu lain.
Saat individu yang meneliti tindakan individu lain, harus memahami secara subjektif serta menginterpretasi tindakan si aktor. Weber juga merumuskan bahwa perasaan dan akal menjadi penyebab munculnya tindakan dan perilaku antara hubungan individu. Akhirnya individu lain akan berusaha untuk memahami ataupun menafsirkan sehingga dari hubungan tindakan antar individu tersebut menghasilkan proses sebab-akibat.
Jika melihat dari teori tersebut maka orangtua harus memahami bahwa komunikasi dengan anak anak tak selalu soal benar salah, soal rasionalitas yang kaku. Persis seperti yang dialami Ara ketika dia sedang membangun kesadarannya sendiri dan ingin menyampaikan ini ke orangtuanya, "Tak semuanya harus rasional! namanya juga anak anak" ujar emak saat meminta abah untuk mencoba memahami dan mempercayai Ara yang mengaku bisa bicara dengan ayam.
Jadi orisinalitas individu dalam masyarakat bisa membangun sendiri makna atau value dalam proses komunikasi jika individu lain membuka kesempatan untuk menerima pesan meskipun itu berbeda dengan yang sudah dibangun sebelumnya dalam sebuah struktur sosial termasuk keluarga.
Jika anda ingin belajar bagaimana kita memahami pesan yang ingin disampaikan anak meski menurut pemahaman kita tidak rasional maka belajarlah dari abah di Keluarga Cemara 2. Termasuk Bagaimana menjalin kehangatan dan komunikasi dalam keluarga tontonlah film ini, karena anda akan bisa belajar memahami anak tanpa harus merasa diajari.
Ero Saraswati Asmoro
*) Penulis adalah Guru Sosiologi SMAN 1 Bojong, Kabupaten Pekalongan
Editor : Muhammad Burhan