Saatnya Nadzir Wakaf Profesional, Bukan Sekadar Pemegang Amanah
Wakaf sering disebut sebagai “mesin kesejahteraan umat” yang bisa menghidupkan pendidikan, sosial, hingga ekonomi. Namun, siapa yang memastikan agar harta wakaf tidak salah kelola? Di sinilah peran penting seorang nadzir.
Selama berabad-abad, nadzir biasanya adalah tokoh agama yang disegani. Mereka dipercaya mengelola tanah atau aset wakaf secara turun-temurun. Sayangnya, pola lama ini tidak jarang menimbulkan masalah: hasil wakaf dikelola sesuka hati, dinikmati pribadi, bahkan dianggap warisan keluarga. Masyarakat pun segan melakukan pengawasan karena rasa hormat pada tokoh agama.
Sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wajah perwakafan Indonesia berubah. Undang-undang ini menegaskan bahwa nadzir bukan sekadar penerima amanah, melainkan pengelola profesional yang wajib menjaga, mengembangkan, dan menyalurkan hasil wakaf sesuai syariat. Badan Wakaf Indonesia (BWI) pun dibentuk untuk membina dan mengawasi agar aset wakaf benar-benar memberi manfaat bagi umat.
Nadzir sekarang bisa berbentuk perorangan, organisasi, atau badan hukum. Namun, semuanya wajib memenuhi syarat: beragama Islam, amanah, dewasa, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang hukum. Lebih jauh lagi, nadzir punya kewajiban melaporkan pengelolaan wakaf secara periodik. Bila lalai, sanksi administratif, perdata, bahkan pidana siap menanti.
Era baru wakaf menuntut nadzir melek hukum sekaligus piawai mengelola aset. Tidak cukup hanya berstatus tokoh agama, nadzir kini harus mampu menjadikan wakaf produktif: dari lahan menjadi pusat pendidikan, dari aset menjadi penggerak ekonomi umat.
Untuk itu, BWI melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) membuka pelatihan dan sertifikasi nadzir. Harapannya, lahir nadzir-nadzir profesional yang benar-benar memahami tata kelola wakaf modern, sehingga sengketa wakaf bisa ditekan dan manfaatnya makin dirasakan masyarakat.
Menjadi nadzir kini bukan lagi soal warisan jabatan, melainkan soal kompetensi. Saatnya umat Islam memastikan bahwa wakaf benar-benar menjadi instrumen kemaslahatan, bukan sekadar simbol keagamaan.
Penulis : Drs H Muiz Ali, Wakil Sekretaris Perkumpulan Penggerak Masjid Indonesia
Editor : Suryo Sukarno