Konflik Perhutani vs Kelompok Tani Hutan di Blora Memanas, KLHK Turun Tangan Cari Solusi
BLORA, iNewsPantura.id – Konflik antara Perhutani dan Kelompok Tani Hutan (KTH) di sejumlah wilayah Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Blora, terus berkepanjangan.
Persoalan ini dipicu oleh status pengelolaan kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang hingga kini belum memiliki batas wilayah yang jelas di lapangan
Untuk meredam ketegangan dan mencari solusi, Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial bersama Balai Perhutanan Sosial (BPS) Yogyakarta mengundang para pihak terkait, Kamis malam (23/10/2025) di Hotel Azana Blora.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan Perhutani, KTH, dan sejumlah pihak terkait, pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten Blora meminta kedua belah pihak untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan di lapangan yang dapat memperkeruh situasi.
Akar Masalah: Batas Wilayah dan SK yang Masih Indikatif
Hal ini bermula diterbitkannya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.185/2023 dan SK.192/2023, yang merupakan salah satu kebijakan dalam pemberian akses kelola bagi masyarakat yang masih harus di fasilitasi dan validasi dalam mengelola Perhutanan Sosial di Pulau Jawa.
Namun dalam praktiknya, terdapat ketidaksinkronan antara SK 185/2023 dan SK 192/2023 yang dikeluarkan beberapa tahun lalu dengan SK 287 Tahun 2022 tentang penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus.
Dengan adanya penetapan SK 149 Tahun 2025 yang menggantikan SK 287/2022 areal di dalam SK185/2023 dan SK 192/2023 sebagian besar sudah masuk ke dalam KHDPK
Di lapangan, sebagian KTH di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora menganggap bahwa lahan-lahan yang mereka garap kini masuk dalam wilayah hutan sosial.
Sementara Perhutani tetap berpegang bahwa kawasan tersebut masih merupakan bagian dari hutan negara yang mereka kelola secara sah.
Akibat belum adanya kejelasan batas wilayah pengelolaan, klaim sepihak dan ketegangan sosial pun tidak terhindarkan.
Beberapa KTH bahkan mengklaim memiliki hak penuh untuk mengelola lahan di bawah program Perhutanan Sosial, sementara pihak Perhutani tetap mempertahankan status lahan sebagai milik negara yang mereka kelola sesuai mandat.
Dalam forum yang berlangsung cukup hangat tersebut, terjadi adu argumentasi antara KTH dan Perhutani.
Namun, Kementerian Kehutanan melalui Balai Perhutanan Sosial Yogyakarta (BPS) akhirnya menegaskan posisi pemerintah pusat sebagai mediator netral.
“Selama proses regulasi dan penetapan SK definitif masih berjalan, Perhutani tetap memiliki hak menjaga dan mengelola hutan negara. Tapi kami minta kedua belah pihak saling menahan diri untuk menghindari konflik di lapangan,” ujar Wahyudi, Kepala BPS Yogyakarta, Kamis (6/11) malam.
Ia menambahkan, regulasi lanjutan saat ini tengah digodok oleh Kementerian Kehutanan yaitu Rencana Pengelolaan KHDPK agar ke depan ada kejelasan batas wilayah hak kelola antara Perhutani dan kelompok masyarakat.
Pertemuan malam itu menghasilkan kesepahaman awal bahwa semua pihak perlu menunggu SK definitif (HKm) sebagai dasar hukum pengelolaan yang lebih pasti.
Sementara, Anton Fajar Wakil Kepala Devisi Regional Jawa Tengah (Waka divre), menyampaikan persoalan ini akan disampaikan kepada Direksi, agar ada win win solution dilapangan.
Terkait lahan tebu yang dikelola Perhutani KPH Blora, ia tidak menyalahkan Administratur (Adm) karena Ia hanya menjalankan tugas yang telah masuk didalam program kerja.
"Ya, nanti akan kami sampaikan ke Direksi, harapnnya agar ada win solution, ntah berupa PKS ataupun lainnya", Ujarnya.
Anton juga mendorong, agar KLHK segera menetapkan batas wilyah pengelolaan hutan antara Perhutani dan KTH agar ada kejelasan.
"Jadi ada kejelasan hak pengelolaan. Mana yang menjadi hak kelola Perhutani dan mana yang menjadi hak kelola masyarakat, sehingga tidak lagi terjadi konflik", jelasnya.
Dengan begitu, diharapkan tidak lagi ada gesekan antara petugas Perhutani dan masyarakat KTH di lapangan.
Pemerintah menargetkan regulasi baru tersebut dapat segera disahkan agar memberikan kepastian hukum dan memastikan pengelolaan hutan berjalan adil, lestari, dan berpihak pada masyarakat tanpa mengabaikan fungsi konservasi.
Editor : Suryo Sukarno