NEW YORK - Simpati terus mengalir dari Para pemimpin agama dan pemimpin dunia terkait insiden penembakan massal yang menewaskan 21 orang di sebuah sekolah dasar (SD) Robb di Uvalde, Texas, Amerika Serikat (AS).
Paus Fransiskus pada Rabu (25/5/2022) mengatakan dia "patah hati" dengan penembakan di Texas dan menyerukan diakhirinya "perdagangan senjata tanpa pandang bulu".
Penembakan di Texas tercatat sebagai penembakan sekolah paling mematikan sejak seorang pria bersenjata menewaskan 26 orang, termasuk 20 anak-anak, di Sekolah Dasar Sandy Hook di Connecticut pada Desember 2012.
Menurut data Sensus AS, Uvalde, sebuah komunitas jauh di wilayah negara bagian Hill Country sekitar 130 km sebelah barat San Antonio, memiliki sekitar 16.000 penduduk, hampir 80 persen dari mereka Hispanik atau Latin.
"Kami adalah komunitas kecil dan kami membutuhkan doa Anda untuk membantu kami melewati ini," terang Hal Harrell, pengawas distrik sekolah, mengatakan kepada wartawan pada Selasa (24/5/2022), suaranya bergetar karena emosi.
Serangan yang terjadi 10 hari setelah seorang supremasi kulit putih yang diakui menembak 13 orang di sebuah supermarket di lingkungan sebagian besar kulit hitam di Buffalo, mendorong Presiden AS Joe Biden untuk menyerukan undang-undang keamanan senjata yang lebih ketat dalam pidato utama kepada rakyat AS.
"Sebagai sebuah bangsa, kita harus bertanya kapan dalam nama Tuhan kita akan berdiri di lobi senjata, kapan atas nama Tuhan kita melakukan apa yang kita semua tahu dalam perut kita perlu dilakukan," katanya, dengan meninggi.
Biden memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang setiap hari sampai matahari terbenam pada Sabtu (28/5/2022) untuk memperingati tragedi itu.
“Saya muak dan lelah karenanya. Kita harus bertindak,” kata Biden, seorang Demokrat, tanpa mengusulkan undang-undang khusus.
Tetapi prospek undang-undang tetap redup di Washington. Hampir semua Partai Republik di Kongres menentang pembatasan senjata baru, mengutip jaminan Konstitusi AS tentang hak untuk memanggul senjata.
Editor : Hadi Widodo