Pekalongan, iNewspantura.id – Puncaknya keseriusan adalah canda. Puncaknya canda adalah keseriusan. Selintas ungkapan itu terkesan mengada-ada dan main-main. Tetapi, itulah yang terjadi dalam Diskusi Titik Ba seri ke-5 yang diselenggarakan di Pandopokan Cangkruk Begal, Desa Tunjungsari, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Minggu (23/10) kemarin.
Tampil sebagai pemantik diskusi, Ahmad Thoha Faz (penulis buku Titik Ba) mengawali paparannya tentang konsep karya. Menulik salah satu ungkapan dalam kitab Al Hikam karya Ibnu Athailah, “Al a'malu suwarun qa'imatun, wa arwahuha wujud sirril ikhlashi fiiha”, Thoha mulai menguraikan bagaimana mestinya sebuah proses karya itu berlaku.
“Amalan tindakan yang terindera itu adalah seratan yang bagus, seratan yang kokoh. Tetapi, kalau tidak ada rohnya itu menjadi bangkai. Jadi, setiap tindakan kita harus sebagus dan sebaik mungkin, tapi tanpa rohnya, lebih baik dikubur. Secantik apapun dan sebagus apapun karya, kalau tidak ada rohnya lebih baik dikubur. Bahaya kalau kita membuat sebuah karya yang bagus tapi tidak ada rohnya, lama-lama membusuk, bakteri bertebaran,” ungkap Thoha menjelaskan digagasnya tema diskusi Roh Batik dan Obsesi Santri dalam gelaran tersebut.
Menukik ke dalam, Thoha kemudian mengemukakan, bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan oleh setiap orang di dalam menemukan roh dari karya adalah dengan menemukan alasan. Ia menerangkan, bahwa tradisi rasional—sebagaimana yang berlaku saat ini—selalu menghendaki penjelasan atas alasan-alasan dari sesuatu. Akan tetapi, alasan-alasan yang diberikan mesti terus diperdalam dan tidak berhenti pada satu lapisan.
Ia menjelaskan, “Sesuatu yang ada alasan maka sesuatu itu sangat dangkal. Sementara sesuatu yang sangat dalam alasannya, maka sesuatu itu yang sebenarnya tidak kita ketahui. Misalnya, mengapa kita semua jalannya ke depan, bukan ke belakang. Itu alasannya apa? Nggak ada alasannya. Ketika ditelusuri, alasannya ya sampai ke 4 kode dalam susunan DNA itu. Sesuatu yang tidak diketahui alasannya bukan berarti tidak punya alasan. Tetapi, ada alasan yang sangat dalam.”
Rumusan ini berlaku pada semua bidang kehidupan. Termasuk, di dalam menulis sebuah buku, seperti yang dijalankan Thoha. Ia mengaku, gagasan titik ba sesungguhnya bukan berasal dari diri penulisnya. Lebih-lebih dengan maraknya kajian titik ba akhir-akhir ini. Gagasan tentang titik ba menurut Thoha sudah ada jauh-jauh hari. Bahkan, ia mengaku, ketika ia menemukan ide tentang titik ba, ia merasa seperti menemukan mutiara terpendam yang belum diketahui siapa yang mengawali gagasan tersebut.
“Jadi, kenapa saya menulis titik ba itu, karena saya nggak tahu titik ba itu apa. Yang saya rasakan waktu itu ketika menuliskan titik ba awalnya memberanikan diri, ini ada suatu keanehan. Anehnya apa? Jadi, ini ada mutiara tapi yang tidak bertuan. Titik ba itu nggak ada yang tahu. Saya tanya ke seorang Kiai di pesantren tentang titik ba, spontan menjawab bi kana ma kana, bi kanu ma yakunu,” terang Thoha, alumni ITB itu.
Meski begitu, Thoha mengaku, bahwa dirinya mulai menulis titik ba berangkat dari kebutuhan untuk membuktikan intelektualitasnya. “Kenapa orang sekolah? Orang ke sekolah itu sebenarnya yang dicari? Ijazah gitu kan? Kenapa orang mencari ijazah? Sebenarnya kan bukti intelektual. Pertanyaan berikutnya, apakah bukti intelektual hanya satu lembar sertifikat dan kalau kita ada perlu difotokopi. Mengapa tidak satu buku ini?” jelas Thoha.
Kedua hal yang dikemukakan Thoha itulah yang pada akhirnya membuat suasana diskusi menjadi mencair seketika. Disusul dengan celatukan hadirin yang berusaha merespon pernyataan-pernyataan Thoha.
Seiring perjalanan pencarian tentang titik ba itu, Thoha mengaku, pada akhirnya ia menemukan titik terang mengenai asal-usul gagasan titik ba. Dalam perjumpaannya dengan sekian banyak orang di dunia maya, ia menemukan bahwa titik ba bermula dari gagasan Sayidina Ali bin Abi Thalib. Lewat pernyataan yang dikutip dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, “Saya adalah titik bak di awal bismillah”.
“Makanya ketika itu saya tulis dalam buku titik ba ini adalah gagasan Sayidina Ali bin Abi Thalib,” tandas pendiri Pesantren Ilmu Eksakta ini.
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait