Amalan-amalan kecil, apabila ia dilakukan dengan niat kesalehan, maka ia akan bernilai besar. Sebaliknya, sekalipun amalan yang kita lakukan itu besar dan sering dilakukan, semua itu akan bernilai kecil apabila di dalamnya terdapat niat buruk.
Begitulah para salaf mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang niat. Sebagaimana mereka mengajarkan surat Al Fatihah.
Dikisahkan, dua orang yang masih memiliki hubungan keluarga memiliki tabiat yang berbeda. Si A tampak lebih sering terlihat di masjid, salat berjamaah, mengaji, berpuasa, bersedekah, dan sebagainya. Sementara si B, lebih sering terlihat di meja-meja judi, mabuk-mabukan, dan terkadang terlihat pula di area lokalisasi. Ringkasnya, Si A adalah orang yang taat beribadah. Sedang si B, orang yang gemar melakukan maksiat.
Sebagai orang yang taat beribadah, si A tak bisa mengelak dari godaan. Hingga suatu malam, iblis mendatanginya, lalu berbisik, “Sungguh, aku menaruh rasa kasihan padamu. Kau habiskan waktumu hanya dengan hal-hal yang membosankan. Apa kau tak ingin mencecap nikmat kesenangan dunia barang secuil pun?”
Si A tak menanggapi bisikan itu. Ia masih kukuh dengan pendiriannya.
Iblis tak mau kalah. Ia memutar otaknya yang penuh dengan kelicikan. Lalu ia tunjukkan pada si A tentang apa-apa yang dilakukan saudaranya, si B. “Lihatlah! Saudaramu itu manusia yang sangat beruntung. Ia bisa menikmati segala yang dihidangkan dunia, kesenangan. Apa kau tak mau begitu? Cobalah kau datangi ia dan bersenang-senang bersamanya.”
Sambil mengamati apa yang dilakukan saudaranya, si A diam-diam mulai terbujuk oleh rayuan iblis. Dalam hati ia berkata, “Benar juga, kenapa aku harus menyia-nyiakan kesempatan ini. Bukankah hidup di dunia hanya sekali. Mengapa aku tak bisa seperti dia? Ah bodohnya aku. Toh, di lain waktu aku masih punya kesempatan untuk bertobat.”
Bersamaan itu, rupanya si B baru saja tersadar dari mabuknya. Perlahan, ia mulai merenungi dirinya. Ia menemukan sesuatu yang keliru pada dirinya. Ia tersentak, manakala ia menemukan bahwa ia berada dalam dunia yang gelap. Kemabukan yang ia rasakan membawanya ke arah yang tak jelas. Ia tak lagi mampu membaca masa depannya.
Dalam sadar itu, si B teringat saudaranya, si A. Diam-diam, ia mulai mengagumi kesungguhan si A yang taat beribadah. “Ia benar, hidup mestinya tak segelap ini. Hidup mestinya bermakna. Dan, rupanya aku telah berbuat kufur pada diriku sendiri. Menyia-nyiakan waktuku, demi kesenangan yang hanya sementara tetapi aku tak tahu pasti arah masa depan yang kutuju,” sesalnya.
Sejak itu, ia bangkit dan hendak menghampiri saudaranya yang tengah asyik masyuk dalam ketaatannya kepada Ilahi, pikirnya. Ia lekas-lekas menaiki anak tangga masjid. Sedang si A, juga tengah menghambur ke luar dari masjid, bermaksud menemui saudaranya untuk ikut tenggelam dalam kesenangan saudaranya itu.
Saking sama-sama bersemangatnya, kedua kakak-beradik itu tak sempat memperhatikan apa pun yang ada di sekitarnya. Sampai-sampai tubuh si A limbung, jatuh menimpa tubuh si B yang tengah menyongsong pintu masjid. Keduanya jatuh. Kepala mereka membentur lantai marmer yang keras, hingga nyawa mereka tak terselamatkan lagi.
Dari peristiwa itu, ada dua hal berbeda yang dialami keduanya. Kematian si A yang tengah menyongsong kemaksiatan, membuat semua amalan ibadahnya bernilai kecil. Ia lantas dikelompokkan ke dalam golongan orang-orang yang bermaksiat (karena niatnya). Lain halnya si B, ahli maksiat ini justru dikumpulkan bersama orang-orang yang berbuat taat karena niatnya pula.
Sekelumit kisah ini sepatutnya menjadi contoh sekaligus peringatan, seberapa dalam kita mengenali diri kita. Juga untuk memeriksa ulang, niat kita. Sebab, niat pada hakikatnya sangat memengaruhi kehidupan setiap manusia.
Mari kembali membaca diri kita. Seberapa sering kita menunda-nunda amal kebaikan? Berapa kali pula kita kerap tergoda untuk bermaksiat dengan alasan, “Kan masih bisa bertobat”?
Manusia, siapapun ia, tidak punya pengetahuan tentang kapan ajal kita datang. Manusia, dengan segala kehebatannya, ia tak akan bisa menerka-nerka bagaimana kehidupannya kelak. Maka, memperbanyak niat baik, walau kecil amal itu adalah perlu. Sebab, kita tidak tahu apakah amal yang kita kerjakan itu akan mengantarkan kita kepada rida Allah. Dan, apakah amal itu pula yang bisa membebaskan kita dari siksa neraka.
Sumber: kitab Fawaidul Mukhtaroh
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait