PEKALONGAN, iNewspantura.id – Pandangan tentang dunia pendidikan sebagai menara gading, agaknya masih menjadi bayang-bayang yang belum mampu dihapus. Hal itu terungkap melalui kritik yang dikemukakan penulis buku Titik Ba, Ahmad Thoha Faz, dalam Diskusi Titik Ba yang diselenggarakan di Pandopokan Cangkruk Begal, Desa Tunjungsari, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Minggu (23/10) kemarin.
Selama menulis buku Titik Ba Ahmad Thoha Faz menemukan pengalaman-pengalaman unik. Selama 14 tahun Thoha menulis buku Titik Ba. Selama itu pula ia mengalami kejadian-kejadian yang tidak biasa.
Salah satunya, ketika ia memutuskan untuk drop out dari sekolah. Keputusan itu diambil hanya dipicu oleh pertanyaannya kepada guru sekolahnya tentang bilangan pecahan. “Waktu itu saya mempertanyakan kepada guru Matematika saya, kenapa pembilang dibilang pembilang dan kenapa penyebut disebut penyebut,” ungkap Thoha.
Kendati demikian, pertanyaan itu tak juga menemukan jawaban. Kecewa dengan hal itu, Thoha pun sempat memilih untuk D.O dari SMA-nya.
Selang beberapa waktu berikutnya, ia kembali masuk sekolah, hingga ia pun lulus dari kampus Ganesha, ITB, jurusan Teknik Industri. Menyandang gelar sarjana, Thoha rupanya juga tak puas begitu saja. Sebelum akhirnya memutuskan lulus, ia telah memulai menulis sebuah buku yang diberi judul Titik Ba.
“Saya ketika mau lulus itu takut. Takut kalau nggak punya karya apa-apa. Ini sangat memalukan kalau lulus hanya satu kertas. Dan ini yang didoktrin bapak saya, jangan sampai kamu itu mencari ilmu untuk mencari duit. Makanya saya harus membuat ijazah yang berupa buku. Karya,” aku Thoha.
Buku itu, oleh Thoha, dijadikan sebagai penyemangat dalam membuktikan kadar intelektualitasnya. Menurutnya, kadar intelektualitas seseorang yang pernah bersekolah semestinya tidak hanya dibuktikan oleh selembar ijazah. Akan tetapi, juga dibuktikan melalui karya.
“Kenapa orang sekolah? Orang ke sekolah itu sebenarnya yang dicari? Ijazah gitu kan? Kenapa orang mencari ijazah? Sebenarnya kan bukti intelektual. Pertanyaan berikutnya, apakah bukti intelektual hanya satu lembar sertifikat dan kalau kita ada perlu difotokopi. Mengapa tidak satu buku ini?” tutur pendiri Pesantren Ilmu Eksakta itu.
Di luar dugaan, buku Titik Ba yang ditulisnya mendapatkan respon positif dari rektor ITB kala itu. Sehari sebelum lulus dan menyandang gelar sarjana, buku karangannya itu diendorsement oleh Rektor ITB. Malahan, oleh Rektor ITB, buku karyanya itu direkomendasikan agar dibaca seluruh dekan yang ada di lingkungan ITB.
Editor : Ribut Achwandi