Sejarah pencak silat nusantara berawal ketika nenek moyang yang harus melindungi diri dan mempertahankan keluarganya dari berbagai ancaman dan tantangan.
Peneliti Donald F Draeger mengungkap adanya bukti beberapa seni bela diri dari artefak masa klasik serta pahatan-pahatan relief di sekitar kawasan Candi Prambanan dan Borobudur. Dalam artefak tersebut, terlihat sikap kuda-kuda seperti pada gerakan pencak silat.
Dikutip dari okezone, Shamsuddin menilai seni bela diri silat terpengaruh dari bangsa India dan China, sebab pada saat itu, kedua bangsa tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap bangsa Melayu.
Para ahli berpendapat, pada abad ke VII sejarah pencak silat ditemukan untuk pertama kalinya di Riau pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Kemudian, bela diri tersebut tersebar luas ke Semenanjung Malaka dan juga Pulau Jawa. Di abad XVI, pencak silat digunakan oleh Kerajaan Majapahit sebagai salah satu ilmu menunjang peperangan.
Perguruan pencak silat Nasional Ikatan Seni membela Diri (PSN ISMD) Putra Setia didirikan oleh Al Habib Haji Muchtar Hasfulloh. Nama perguruan Putra Setia memiliki makna filosofi tersendiri.
Maknanya yakni setia kepada Allah, setia dan bhakti kepada kedua orangtua, serta setia kepada negara dan masyarakat yang baik. Akhirnya, terbentuklah sebuah wadah yakni Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) yang diresmikan tanggal 28 Oktober 1988
Beberapa cabang dari PSN ISMD tersebar di Bekasi, Jakarta Barat, Indramayu, dan juga Jatinegara. Kantor Padepokan IPSI TMII berada di Jalan Satria I No 64 RT 008 RW 002, Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur.Itulah sejarah pencak silat yang cukup beragam.
Selain mahir dengan gerakan, para pesilat harus tahu bagaimana perjalanan sejarah pencak silat.
Silat atau silek dalam bahasa Minangkabau disebut-sebut merupakaan ciptaan dari Datuk Suri Diraja dari Pariangan, di kaki Gunung Marapi di abad ke 11. Selanjutnya, silek dibawa ke seluruh Asia Tenggara oleh para perantau Minang.
Selain itu, ada juga tokoh pejuang kemerdekaan yang turut mendorong kemajuan pencak silat, seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Cut Nyak Dhien, Cut Meuthia, dan lainnya.
Editor : Hadi Widodo