DPRD Kudus Soroti Dugaan Pungutan di K3S: Korwil Akui Iuran Jadi Tradisi karena Minim Anggaran

KUDUS, iNewsPantura.id -- Dugaan praktik pungutan yang terjadi dalam kegiatan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SD Negeri di Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, berbuntut panjang. Tak hanya ditangani oleh Inspektorat Daerah, kasus ini kini mendapat sorotan tajam dari Komisi D DPRD Kudus yang membidangi pendidikan.
Pada Rabu (6/8/2025), Komisi D memanggil seluruh Koordinator Wilayah (Korwil) Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) dari sembilan kecamatan di Kudus. Pemanggilan ini dilakukan untuk meminta klarifikasi terkait dugaan pungutan tanpa dasar hukum yang dilakukan oleh pengurus K3S, dan kemungkinan terjadi pula di wilayah lain.
Ketua Komisi D, Mardijanto, menyampaikan bahwa pihaknya sangat prihatin terhadap adanya pungutan yang dilakukan di luar mekanisme resmi. Ia menegaskan bahwa praktik tersebut tak hanya bertentangan dengan aturan, tetapi juga berpotensi masuk ke ranah hukum apabila terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang.
“Kami ingin mengurai akar persoalan ini. Apakah pungutan muncul karena minimnya alokasi anggaran dari dinas, atau ada kepentingan lain yang menyimpang,” ujarnya dalam forum klarifikasi bersama para Korwil.
Dalam forum tersebut, sejumlah Korwil secara tersirat mengakui bahwa praktik iuran dari para kepala sekolah untuk kegiatan kekorwilan memang telah menjadi semacam “kebiasaan”. Mereka berdalih bahwa banyak kegiatan rutin dan operasional kantor Korwil yang tidak mendapat alokasi anggaran dari dinas.
Susanti, Korwil Kecamatan Dawe, misalnya, menyebut bahwa dana kekorwilan yang diterima hanya sekitar Rp23 juta per tahun. Dana itu, menurutnya, sepenuhnya habis untuk kebutuhan rutin seperti listrik, air, dan langganan koran.
“Kegiatan seperti gerak jalan HUT RI, lomba MAPSI, hingga rapat kepala sekolah tidak ada dananya. Maka kami inisiatif iuran agar kegiatan tetap berjalan,” kata Susanti.
Keluhan serupa datang dari Korwil lain. Mereka menyampaikan bahwa kendaraan dinas yang tersedia rata-rata sudah berusia tua dan sering rusak. Bahkan untuk kebutuhan dasar seperti pembelian kertas dan ATK, mereka kerap harus patungan atau menggunakan uang pribadi.
Korwil Kecamatan Jati, Eny Purwaningsih, turut hadir dalam forum dan memberikan penjelasan bahwa dirinya baru menjabat ketika kasus ini mencuat. Ia mengaku tidak mengetahui secara rinci praktik pengelolaan dana K3S sebelumnya.
Menurutnya, pengelolaan dana K3S dan KKG selama ini ditangani oleh Ketua dan Bendahara K3S yang lama. Dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan seperti membayar tenaga non-ASN yang tidak dicover oleh APBD, serta membiayai kegiatan rutin kelompok kerja.
“Saya baru masuk ketika kasus ini mencuat. Setelah saya tanya ke pengurus K3S, mereka menyampaikan bahwa dana digunakan untuk kegiatan yang tidak dibiayai dinas,” ungkapnya.
Eny juga menyampaikan bahwa Ketua dan Bendahara K3S Kecamatan Jati sudah dipanggil oleh Inspektorat dan telah menyerahkan seluruh dokumen pembukuan yang diminta. Dokumen asli, menurutnya, telah dikembalikan setelah disalin oleh petugas Inspektorat.
Salah satu hal yang juga memancing reaksi keras dari Komisi D adalah ketidakhadiran Kepala Disdikpora Kudus maupun pejabat setingkat sekretaris dalam rapat klarifikasi yang digelar DPRD.
Anggota Komisi D dari Fraksi PKB, Ali Ihsan, mengkritik keras absennya pimpinan dinas dalam rapat yang menurutnya sangat penting untuk membenahi sistem tata kelola pendidikan di Kudus.
“Yang datang hanya satu orang, Mas Majid. Padahal pemanggilan ini menyangkut tugas pokok dan fungsi Disdikpora. Kepala dinas atau minimal sekretaris seharusnya hadir langsung,” katanya dengan nada kecewa.
Ali juga mempertanyakan fungsi pengawasan internal dinas yang dinilainya tidak berjalan. Jika praktik pungutan ini telah berlangsung selama dua tahun, kata dia, seharusnya dinas sudah mengetahuinya sejak awal.
“Selama ini dinas ke mana? Kalau baru tahu setelah viral dan dilaporkan masyarakat, itu tanda koordinasi dan pengawasan tidak jalan,” tegasnya.
Tak hanya praktik di K3S, Komisi D juga menyinggung pungutan di sekolah yang dibebankan kepada orang tua siswa baru dalam bentuk pengadaan seragam. Ali Ihsan menyebut bahwa ada sekolah yang memungut lebih dari Rp1,3 juta untuk seragam siswa baru, dan tidak semua item bisa dibeli di luar sekolah.
“Seragam batik dan olahraga harus dari sekolah. Walau lewat koperasi, harga bisa lebih mahal dari pasar,” ungkap Ali.
Komisi D bahkan mengaku telah melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa sekolah. Hasilnya, mereka menemukan adanya kebijakan pembebasan pembelian seragam, tetapi tetap dengan catatan yang membatasi kebebasan orang tua dalam memilih.
Komisi D mendesak agar persoalan dugaan pungutan ini tidak hanya diselesaikan secara administratif. Mereka meminta Inspektorat melakukan audit menyeluruh terhadap mekanisme keuangan dan pengawasan di seluruh tingkat Korwil dan K3S di Kudus.
“Kami minta agar ada pembinaan menyeluruh. Jangan hanya di Kecamatan Jati. Bisa jadi praktiknya sama di tempat lain,” tegas Ali Ihsan.
Lebih jauh, DPRD mengingatkan seluruh pihak di lingkungan Disdikpora agar lebih transparan dan akuntabel. Dalam dunia pendidikan, menurut mereka, setiap kebijakan harus dibuat berdasarkan regulasi yang jelas dan tidak membebani publik.
“Kita ini seperti berada dalam akuarium. Semua bisa melihat. Maka hindari segala bentuk pungutan yang tidak berdasar hukum. Dunia pendidikan harus jadi contoh, bukan justru jadi sorotan negatif,” kata Ali Ihsan.
Editor : Suryo Sukarno