Ada ucapan yang mengharu biru pagi itu dari bibir Sayidah Fatimah kepada suaminya, Sayidina Ali. Seusai membersihkan badan, selepas mengenakan pakaian barunya, ia berkata bahwa kematiannya ibarat kulit ari yang tipis. Sudah sangat dekat.
Pagi itu, tepatnya tanggal 3 Ramadhan 11 Hijriah. Adalah hari yang memukul perasaan Sayidina Ali. Ucapan Sayidah Fatimah membuat dada Sayidina Ali sesak. Hingga, mendorong air matanya berlinang. Membasahi kedua pipinya.
Terbayang dalam benaknya, bagaimana ia kelak akan melalui hari-harinya dalam kesepian. Bagaimana ia kelak akan merasakan kehilangan yang teramat. Istri yang selama ini menemaninya, baginya adalah sosok perempuan istimewa. Yang tak mungkin tergantikan oleh orang lain.
Mendengar isak tangis suaminya, perempuan saliha yang juga putri Rasulullah saw itu lantas berusaha menenangkannya. Ia tersenyum, sambil mengelus-elus pundak suaminya. Lalu, berpesan agar suaminya tak larut dalam kesedihan yang mendalam. Sebab, masih ada yang harus ia kerjakan. Yaitu, menjadi pelindung bagi anak-anak mereka.
Ia tak ingin, kelak anak-anak mereka tumbuh tanpa penjagaan dan perlindungan dari ayah mereka. Ia juga tak ingin, apabila kepulangannya ke hadirat Allah azza wajalla membuat anak-anak mereka kehilangan sosok yang penuh kasih sayang hanya karena suaminya terhanyut dalam duka yang berkepanjangan.
Untuk alasan itu, Sayidah Fatimah, perempuan yang kecantikannya membawa terang hati Sayidina Ali, berpesan, agar ia tak dikuburkan dengan upacara pemakaman.
Sungguh tak dinyana, permintaan itu sangat berat untuk dilakukan. Tetapi, demi menjaga wasiat itu dan menghormati keputusan istrinya, Sayidina Ali menuruti permintaan itu.
Di samping pembaringan, Sayidina Ali duduk menemani istrinya. Ia berusaha menunjukkan sikapnya yang tegar seraya memohon kepada Sang Khalik, agar ia diberi kekuatan dan keikhlasan untuk menerima peristiwa duka itu. Tibalah, saat Sayidah Fatimah menghembuskan napas terakhirnya, Sayidina Ali tetap berusaha tabah.
Dengan hati-hati, Sayidina Ali memperlakukan jenazah Sayidah Fatimah. Ia perlakukan jenazah Sayidah Fatimah dengan sangat baik, karena rasa cintanya yang begitu dalam. Lalu, sesuai permintaan istrinya, ia pun kuburkan jenazah istri yang sangat ia cintai itu diam-diam, tanpa seorang pun tetangga yang tahu. Hanya ia dan keluarga terdekatnya yang tahu.
Liang lahat telah terbuka. Sayidina Ali masuk ke dalamnya, menyongsong jenazah istrinya yang terbungkus kain kafan. Saat jenazah itu dalam pelukan, kesedihannya kembali memuncak. Tangisnya kembali pecah.
Menyaksikan itu, Al Hasan ra, putranya, menegur sang ayah, “Wahai ayahku, apa ayah tangisi? Mengapa tangis ayah begitu rupa?”
Sebentar ia mengusap air matanya. Lantas, dijawabnya pertanyaan Al Hasan ra, “Wahai putraku Al Hasan, sesungguhnya aku teringat pesan kakekmu, Rasulullah saw. Beliau bersabda kepadaku, ‘Kelak jika putriku Fatimah telah tiada, Wahai Ali, maka akulah yang akan pertama kali menerima jasadnya di liang lahat’. Dan demi Allah aku melihat tangan kakekmu Rasulullah menerima jasad ibumu. Aku melihat Rasulullah mencium wajah ibumu, Fatimah.”
Setelah mengucapkan itu, Sayyidina Ali kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kini aku kembalikan amanah yang telah engkau berikan kepadaku. Aku kembalikan belahan jiwamu, yang setiap engkau rindu akan surga, engkau mencium wajah suci putrimu, Fatimah.”
Editor : Hadi Widodo