Ratibul Haddad diambil dari nama penyusunnya yaitu Sayyidina Al-Imam Al-Quthb Al-Ghauts Habib Abdullah Bin ‘Alawi Al-Haddad RA, Seorang Imam Mujaddid (Pembaharu Islam). Ratibul Haddad dengan Izin Allah Swt, disusun pada malam Lailatul Qadar 27 Ramadhan 1071 H atau 26 Mei 1661 M.
Ratib ini disusun untuk memenuhi permintaan dari salah seorang murid beliau, yaitu ‘Amir dari keluarga Bani Sa’d yang tinggal di sebuah kampung di Shibam, Hadhramaut. Tujuan ‘Amir membuat permintaan tersebut ialah agar penduduk kampungnya memiliki wirid dan dzikir yang tersusun. Permintaan penyusunan Ratib ini pula bertujuan agar mereka dapat mempertahankan dan menyelamatkan diri daripada ajaran sesat yang sedang melanda Hadhramaut ketika itu.
Pertama kalinya Ratib ini dibaca di kampung ‘Amir sendiri, yaitu di kota Shibam setelah mendapat izin dan ijazah daripada Al-Imam Abdullah Al-Haddad sendiri. Setelah itu Ratib ini dibaca di Masjid Al-Imam Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim pada tahun 1072 Hijriah bertepatan dengan tahun 1661 Masehi.
Biasaannya Ratib ini dibaca berjamaah bersama doa dan shalat sunnat setelah solat Isya’. Pada bulan Ramadhan Ratib dibaca sebelum solat Isya’ untuk menghindari kesempitan waktu menunaikan solat Tarawih. Alhamdulillah, melalui perantara pengamalan Ratib Al-Haddad tersebut, dengan izin Allah kawasan-kawasan di mana Ratib itu diamalkan, dapat terhindar dari ancaman ajaran sesat.
Apabila Imam Al-Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji, Ratib pun dibaca di Makkah dan Madinah. Ratib dibaca setiap malam di Bab al-Safa di Makkah dan Bab al-Rahmah di Madinah.
Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi pernah menyatakan bahwa barang siapa yang membaca Ratib Al-Haddad dengan penuh keyakinan dan iman dengan terus membaca “La ilaha illallah” 1000 kali (pada umumnya dibaca 50-100 kali), Insya Allah orang yang istiqomah mengamalkannya akan mendapatkan pengalaman yang di luar dugaan dan tak pernah dibayangkannya.
Hakikat Ratib adalah sesuatu yang diamalkan dengan tujuan menyembah (kepada Allah) dan semacamnya. Sedangkan Ratib secara istilah adalah kumpulan dzikir, doa dan tawajjuh yang dihimpun untuk dzikir, mengingat, meminta perlindungan dari keburukan, meminta kebaikan, memohon terbukanya kemakrifatan dan hasilnya pengetahuan yang dibarengi dengan fokusnya hati dan pikiran kepada Allah ta’ala” (Syekh ‘Abdullah bin Ahmad Basudan al-Kindi, Dzakhirah al-Ma’ad bi Syarhi Ratib al-Haddad, hal. 45).
Salah satu dzikir yang sering dibaca oleh kalangan masyarakat Muslim secara luas adalah Ratibul Haddad. Ratib ini disusun oleh salah seorang ulama terkemuka dari Hadramaut, yakni Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad. Beliau merupakan seorang mujaddid (pembaharu) di masanya. Karya tulis beliau terbilang cukup banyak dan tersebar di berbagai penjuru dunia, di antaranya adalah an-Nashaih ad-Diniyah, Risalah al-Mu’awanah, an-Nafais al-‘Alawiyah fi al-Masa’il as-Shufiyah.
Ratibul Hadad disusun pada tahun 1071 Hijriah, bermula ketika para pemuka Hadramaut merasa khawatir akan masuknya kelompok Syiah Zaidiyah di wilayah Hadramaut. Mereka khawatir aqidah Syiah Zaidiyah akan mempengaruhi terhadap keyakinan orang awam yang sejak lama berpegang teguh pada aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah diajarkan oleh para Salafus Shalih.
Berdasarkan hal ini, mereka menghadap kepada al-Qutb Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad agar diberi bacaan supaya hal yang mereka khawatirkan tidak terjadi. Beliau pun menuliskan wirid yang nantinya dikenal dengan nama Ratibul Haddad ini. Semenjak saat itu, bacaan Ratibul haddad banyak dibaca di berbagai tempat di berbagai belahan dunia, sampai saat ini.
Mudah-mudahan orang yang istiqomah mengamalkan Ratib ini diselamatkan Allah Swt dari pada kesulitan, kesusahan, kesempitan hidup, dijauhkan dari penyakit lahir dan batin, dilindungi dari gangguan jin dan manusia .
Editor : Hadi Widodo