Mitologi, bagaimanapun, telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Kisah-kisahnya selalu menarik dan memberi kesan yang beragam. Misterius, mengagumkan, tetapi juga bisa membuat bulu-bulu halus pada tengkuk mendadak berdiri. Salah satu kisah mitos yang ada di dunia adalah kisah makhluk hibrida, campuran antara manusia dan burung. Kisah itu pernah ditulis oleh seorang sastrawan Yunani Kuno terkenal Homerus, dalam puisi eposnya, Odyssey.
Homerus merupakan seorang sastrawan berpengaruh pada masanya. Dua epos yang ditulisnya, Illiad dan Odyssey memberi sumbangan besar bagi dunia pendidikan dan budaya Yunani Kuno. Bahkan, di era Kekaisaran Romawi, dua karya itu masih digunakan sebagai acuan. Pengaruh dua karyanya juga terasa pada budaya Renaisans Italia.
Meski begitu, pada masa filsuf Plato berjaya, dua karya Homer tersebut pernah dikecamnya. Bahkan, dalam buku Repulik, Plato menyebutkan, kedua karya Homerus itu tidak layak dibaca oleh rakyat Yunani. Plato menilai, kedua karya itu sebagai karya yang melawan nilai-nilai moral dan etika Yunani. Oleh sebab itu, Plato memerintahkan untuk membakar seluruh karya Homerus.
Pendapat Plato rupanya dilawan oleh muridnya sendiri, Aristoteles. Lewat bukunya, Poetics, Aristoteles secara tak langsung memberikan pembelaan atas karya Homerus. Ia katakan, bahwa di dalam semua karya—baik yang dianggap bermoral atau tidak—sesungguhnya terkandung aspek-aspek moralitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Hanya, tegas Aristoteles, diperlukan usaha yang keras untuk mencapai nilai moral itu.
Betapa pun kontroversinya karya Homerus ini, nyatanya hingga hari ini karya itu masih dibaca oleh jutaan manusia di dunia. Bahkan, sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa. Termasuk bahasa Indonesia.
Sekilas tentang Puisi Epos Odyssey
Mengenai Odyssey, puisi epos karya Homerus ini ditulis ke dalam 24 buku. Namun, untuk memahami cerita dalam kisah itu pembaca disarankan untuk membacanya dengan cermat. Sebab, alur yang digunakan Homerus tidak urut, melainkan menggunakan alur yang berloncatan. Seperti yang disebutkan dalam laman ensiklopedia britanica.com, permulaan cerita dimulai dari pertengahan kisah.
Empat buku pertama mengisahkan peristiwa di Ithaca. Penelope, istri Odysseus, dan putranya, Telemachus, tak berdaya mengadapi para pelamar Penelope. Mereka adalah bangsawan-bangsawan Ithaca yang terkemuka. Sementara Penelope dan Telemachus masih digalaukan oleh ketidakpastian kabar tentang keberadaan Odysseus yang tak juga kembali dari medan perang melawan Troy. Padahal, perang telah usai. Atas dorongan dan bantuan Dewi Athena, putri Zeus, Telemachus secara diam-diam pergi meninggalkan Ithaca, mencari kabar tentang ayahnya.
Pada bagian berikutnya, buku V- VIII, diperkenalkanlah tokoh utama, Odysseus. Dikisahkan, ia dibebaskan dari tahanan oleh nimfa Calypso di pulau Ogygia. Pun diceritakan bagaimana ia mengalami kecelakaan kapal yang memaksanya mendarat di pantai Scheria, tanah Phaeacians.
Sementara pada buku IX–XII, Odysseus mengisahkan kepada orang-orang Phaeacians tentang perjalanan mengerikan saat berusaha menemukan jalan pulang — termasuk pertemuan mereka dengan pemakan teratai, Laestrygonian, dan penyihir Circe, pelarian mereka dari gua Cyclops Polyphemus, cobaan berat mereka menavigasi antara Scylla dan Charybdis, dan karamnya kapal mereka hingga membuat ia terdampar di Ogygia.
Dan, akhirnya pada buku XIII–XXIV, paruh kedua puisi itu, mengisahkan kembalinya Odysseus di Ithaca. Namun, ia harus menghadapi rintangan dan bahaya yang tak terduga. Dia menemui dewi pelindungnya, Athena, dan mengungkapkan jati dirinya kepada Eumaeus, kemudian kepada Telemakus. Lantas, mereka pun mengembangkan rencana untuk menyingkirkan para pelamar. Sebab, selama ketidakhadiran Odysseus, Penelope menolak lamaran dari seratus pelamar yang telah tinggal di istana Odysseus. Mereka makan, minum, dan bersenang-senang sambil menunggu keputusannya. Namun, satu-satunya jalan agar Odysseus bisa kembali bersatu dengan istrinya, ia harus membunuh mereka semua, dengan bantuan Telemakus, Eumaeus, dan Philoetius.
Gambaran Makhluk Hibrida Manusia Setengah Burung dalam Odyssey
Homerus, dalam puisi eposnya, Odyssey, terutama pada buku ke-12, menyebut makhluk ini dengan nama Sirene. Sosok makhluk hibrida ini muncul dalam salah satu adegan. Dikisahkan, setelah satu tahun ditahan Circe, Odysseus memutuskan untuk melanjutkan perjalannya pulang ke Ithaca. Namun, sebelum benar-benar Odysseus dan anak buahnya mengembangkan layar kapal, Circe berpesan pada mereka tentang Sirene.
Menurut Circe, para Sirene adalah wanita-wanita yang punya daya pikat. Tetapi, ia memperingati, agar salah satu di antara Odysseus dan anak buahnya jangan sampai terpikat. Sebab, ketika mereka terpikat, para Sirine akan menuntun kapal yang mereka tumpangi untuk keluar jalur hingga menabrak karang atau pulau hingga karam. Dengan begitu, mereka pun akan tenggelam dan mati.
Lalu, apa yang paling membuat daya pikat para Sirene ini? Adalah suara nyanyian mereka yang merdu dan indah. Untuk itu, Circe menyarankan agar menutup telinga mereka dengan lilin madu. Itulah satu-satunya cara yang paling mungkin dapat dilakukan.
Diceritakan pula, bahwa Sirene tinggal di salah satu pulau pesisir. Pulau itu dipenuhi tengkorak manusia. Dan, mereka selalu menduduki tulang-tulang itu sambil mendendangkan nyanyian dengan suara merdu mereka.
Meski begitu, Circe kemudian menyerahkan keputusan di tangan Odysseus. Circe tahu, Odysseus penasaran dengan nyanyian Sirene. Namun, ia memberi saran agar agar anak buahnya yang menutup telinga mereka dengan lilin madu. Sedang Odysseus, boleh saja tidak melakukan hal yang sama. Akan tetapi, ia mesti memerintahkan anak buahnya untuk mengikat tubuhnya ke tiang kapal. Langkah ini dilakukan sebagai pencegahan.
Singkat cerita, setelah mendapatkan beberapa nasihat Circe, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Kapal mereka arahkan menuju jalur perairan selat antara Italia dan Sisilia. Jalur itulah yang menjadi tempat tinggal bagi manusia burung, Sirene.
Benarlah, mereka akhirnya bertemu dengan sekelompok manusia-burung itu. Seketika Odysseus memberi tahu anak buahnya tentang Sirene dan memerintahkan untuk mengikatnya ke tiang kapal sehingga dia dapat mendengarkan mereka tanpa harus mengalami kematian. Mereka pun berhasil melewati makhluk mitos itu dengan selamat.
Menurut beberapa penulis kuno, Sirene ditakdirkan untuk mati jika ada yang mendengar lagu mereka dan melawan. Oleh karena itu, Odysseus dalam kisah-kisah kuno disebut sebagai orang pertama yang membunuh para Sirene, yang melompat ke laut sampai mati setelah dia berhasil melarikan diri.
Analisis tentang Sirene
Manusia-burung yang digambarkan penyair buta, Homerus, dalam Odyssey, setidaknya memiliki tiga gambaran utama. Pertama, Sirene sebagai sosok horor yang mengerikan. Kesan kengerian ini terbaca melalui penggalan kalimat yang diucapkan Circe saat memperingatkan Odysseus.
“Pertama, kamu akan membangkitkan pulau Sirene, makhluk yang mempesona siapa pun yang hidup, siapa pun yang datang. Siapa pun yang terlalu dekat, lengah, dan menangkap suara Sirene di udara — tidak ada pelayaran pulang untuknya, tidak ada istri yang bangun untuk menemuinya, tidak ada anak-anak bahagia yang berseri-seri di wajah ayah mereka. Nyanyian Sirene yang tinggi dan mendebarkan akan membuat dia terpikat, terkulai di sana di padang rumput mereka, di sekeliling mereka tumpukan mayat membusuk, potongan kulit mengerut di tulang mereka.” (Homer)
Dengan penggalan kalimat ini, muncullah pertanyaan, makhluk jenis apakah Sirene? Apakah mereka kanibal? Akan tetapi, jika memang mereka kanibal mengapa di dalam Odyssey tidak disebutkan bagaimana cara mayat-mayat itu mati? Tidak jelas pula apakah yang dilakukan Sirene setelah mereka berhasil menjebak para pelaut.
Tampaknya sirene tidak benar-benar memakan korban mereka. Terlebih, kondisi daging yang membusuk menunjukkan bahwa itu hanya membusuk secara alami. Tugas Sirine hanyalah memikat para pelaut dengan nyanyian mereka agar kapal mereka menuju pulau berbatu yang mereka tinggali sehingga kapal-kapal menabrak batu dan tenggelam di depan mata mereka.
Kedua, sosok Sirene sebagai penjaga pengetahuan terlarang. Hal itu dapat diamati melalui nyanyian mereka. Tidak hanya indah, tetapi di dalam nyanyian itu mereka menjanjikan kepada para korbannya untuk memberi tahu pengetahuan rahasia. Itulah yang menambah kesan menarik pada lagu-lagu mereka. Bahkan, dalam analisis yang dihasilkan dari penelitian sejumlah sarjana menggambarkan mereka sebagai makhluk mantik yang mengetahui masa lalu dan masa depan.
Ketiga, kemunculan Sirene dalam kisah Odyssey menjadi godaan bagi Odysseus. Keinginan Odysseus yang demikian kuat nyanyian sirene membuat kisah tersebut menjadi keseruan tersendiri. Sehingga, Circe menyarankan dia untuk benar-benar mendengarkan mereka dengan tindakan pencegahan yang tepat.
**dirangkum dari berbagai sumber**
Editor : Ribut Achwandi