Kegelisahan yang Gamang Korinop
![header img](https://img.inews.co.id/media/600/files/networks/2022/06/12/331c1_korinop.jpeg)
PEKALONGAN, iNewspantura.id – Sabtu (11/6/2022) malam, selama kurang lebih 60 menit, penonton yang memenuhi ruangan gedung Audit kampus I IAIN Pekalongan (sekarang UIN Abdurrahman Wahid) disuguhi sebuah permainan monolog yang menampilkan tokoh Korinop. Tokoh dalam naskah monolog dengan judul yang sama karya Arthur S. Nalan ini dikisahkan sebagai seorang tahanan khusus. Ia tinggal di sebuah sel dengan fasilitas VIP. Seolah-olah tak ada beda antara ruang hukuman dengan kamar rumah mewahnya.
Adalah kasus penyalahgunaan wewenang jabatan yang menyeret Korinop masuk ke penjara. Uang senilai 5 miliar yang ia gelapkan menjadi pemicunya. Namun, sebenarnya ia tidak melakukan seorang diri. Akan tetapi, ada banyak nama yang juga terlibat dalam kasus itu. Sayang, hanya ia sendiri yang dijebloskan. Dijadikan tumbal dari sebuah konspirasi politik kekuasaan yang korup.
Sampai pada akhirnya, terdorong oleh rasa sepinya yang teramat. Juga dipicu oleh rasa kehilangan atas haknya menjalani hidup sebagai manusia yang wajar. Korinop menjadi gelilsah. Terlebih saat ia menemukan sebuah jawaban dari sebuah buku yang ia baca berulang-ulang di dalam penjara. Buku itu berisi tentang mahalnya sikap jujur bagi manusia.
Sejak itu, kesadarannya mendadak tergugah. Ada dorongan untuk mengatakan segala hal menyoal kasus korupsi yang menjebloskannya ke penjara secara terang-terang. Tetapi, semakin ia terdorong untuk melakukan itu, semakin besar pula keinginannya untuk menahan diri. Menyembunyikan rahasia atas kasus yang menimpanya. Membiarkan rahasia itu terus menjadi misteri.
Kemenduaan sikap inilah yang ingin dipresentasikan Teater Roempoet dari Universitas Muhammadiyah Cirebon. Di bawah arahan sutradara Agung Gumelar, sang aktor (Toton Sulistio) berupaya keras memainkan emosi tokoh Korinop dalam alur yang berloncatan. Mula-mula peristiwa yang ditampilkan dimainkan dengan tempo yang agak lambat. Mengisahkan, bagaimana mulanya ia menjadi tahanan khusus.
Disusul dengan adegan yang memperlihatkan betapa nyamannya tokoh Korinop menghuni sel tahanannya. Ia tunjukkan fasilitas yang ia dapatkan yang setara dengan kamar tidurnya di rumah mewahnya. Kemudian, ia tunjukkan pula bagaimana kemudian ia berkenalan dengan sebuah buku yang berjudul Honesty is Expensive. Pada bagian inilah, tokoh Korinop mengalami kebimbangan yang teramat. Emosinya teraduk-aduk. Antara keinginannya untuk berlaku jujur dan memilih diam merahasiakan.
Sementara, sebagai manusia yang wajar, ia tak tahan dengan rasa sepinya. Ia tak sanggup menahan lebih lama lagi rasa kangen kepada anak dan istrinya. Tetapi, pilihannya untuk merahasiakan kasus itu membuatnya juga punya jasa besar bagi mereka yang selamat dari jerat penjara.
Pengorbanan Korinop, dalam fenomena psikologis dapat juga digolongkan ke dalam perilaku altruisme atau bahkan savior complex. Perilaku itu ditunjukkan dengan kesediaannya mengorbankan diri demi orang lain. Pengorbanan itu bahkan bisa menjadi sangat ekstrem, tidak memedulikan keselamatan diri sendiri.
Sayang, dalam suguhan 60 menit itu, agaknya fenomena psikologis tersebut hampir-hampir bisa dikatakan luput dari perhatian. Sisi kejiwaan tokoh dalam naskah Korinop kurang ditonjolkan. Di atas panggung, pementasan tersebut agaknya cenderung menonjolkan sisi sosiologis tokoh.
Memang, tidak menjadi keliru atas pilihan itu. Akan tetapi, dengan hanya menonjolkan sisi sosiologis tokoh, rasa manusia yang utuh dari tokoh yang dimainkan hanya memperlihatkan satu sisi wajah. Korinop hanya ditampilkan sebagai seorang penjahat yang seolah-olah bangga dengan kejahatannya. Hal itu tampak jelas ketika sang aktor mengaktualisasikan adegan bagaimana ia mendapatkan fasilitas yang khusus. Sehingga, luput menangkap momentum saat ia mengekspresikan kerinduannya yang mendalam kepada keluarganya, serta hasratnya yang begitu besar untuk memeluk istrinya. Sekalipun Korinop mendapatkan fasilitas khusus untuk bisa bertemu istrinya, namun ia tak bisa berlama-lama sebagaimana sebelum ia dipenjara.
Peristiwa itu, sesungguhnya akan menjadi menarik jika disajikan dalam adegan tragedi romantik yang menampilkan bagaimana seorang manusia yang dibekali hasrat dalam dirinya tak mampu menyalurkannya secara bebas. Sedang, ia tahu bahwa yang membuat hasratnya terbatasi adalah kesalahan yang sesungguhnya tidak ia sendiri yang mesti menanggung. Terlebih, Korinop adalah representasi manusia modern yang tentu tidak bisa disamakan dengan jenis-jenis manusia seperti para pertapa, yang rela memasuki lorong-lorong kesunyian yang hening. Walhasil, kegelisahan yang diresahkan Korinop menjadi kegelisahan yang gamang.
Meski begitu, secara keseluruhan, penggarapan naskah ini untuk dipentaskan tergarap cukup rapi. Terutama dari sisi koneksitas di antara elemen-elemen pendukung pementasan, seperti tata seting, tata cahaya, musik, dan lain-lain.
Editor : Ribut Achwandi