Manuskrip Cina Kuno dari Abad ke-4 SM Ungkap Keberadaan Fenomena Aurora

Ribut Achwandi
Fragmen manuskrip sejarah Cina Kuno dalam lembaran bambu (sumber: National Diet Library of Japan)

Orang-orang Barat boleh saja meyakini bahwa fenomena langit di Kutub Utara dan Kutub Selatan, yang selanjutnya disebut Aurora, sebagai temuan Galileo Galilei. Namun, ada fakta lain yang mungkin saja akan mengubah narasi sejarah ilmu pengetahuan dunia. Fakta itu datang dari dunia Timur, tepatnya dari negeri Tirai Bambu, Tiongkok.

Selama ini, orang-orang di seluruh dunia mengenal bahwa Aurora kali pertama dikenalkan oleh Galileo pada abad ke-17. Astronom cum filsuf Italia itu mula-mula mengamati pancaran cahaya yang menari-nari dengan komposisi warna yang indah di atas langit utara. Lalu, ia namakan sebagai Aurora Borealis.

Nama Aurora sendiri diambil dari mitologi Romawi, Dewi Fajar. Sedang, istilah Borealis ia ambil dari bahasa Yunani, Boreas, yang artinya angin utara. Jadilah, nama itu disematkan pada fenomena langit Kutub Utara itu sebagai Dewi Fajar Utara.

Tetapi, tahukah Anda, 21 abad sebelum Galileo menyebut nama Aurora, teks-teks Cina Kuno telah merekam fenomena langit Kutub Utara itu. Hal itu dikemukakan oleh Marinus Anthony van der Sluijs, peneliti independen di Kanada dan Hisashi Hayakawa dari Universitas Nagoya. Temuan ini bahkan sudah diterbitkan dalam jurnal Advances in Space Research belum lama ini.

Dalam sebuah kronik bambu bersejarah Cina atau Zhushu Jinian (dalam bahasa Mandarin) abad ke-4 SM rincian komposisi yang diduga Aurora itu mulai terekam. Meski tidak dipungkiri, kronik bambu bersejarah itu sebenarnya memuat kisah-kisah sejarah negeri Tiongkok, namun para peneliti baru menyadari bahwa di dalam manuskrip tersebut tercatat pula pengamatan fenomena di langit yang diduga Aurora itu.

Secara rinci, di dalam manuskrip itu disebutkan, fenomena pancaran “cahaya lima warna” yang terlihat di langit utara pada malam menjelang akhir pemerintahan Kaisar Zhao dari dinasti Zhou. Meski begitu, para peneliti belum bisa memastikan tahun manuskrip itu dibuat. Mereka hanya menggunakan rekonstruksi kronologi Tiongkok terkini untuk menetapkan tahun 977 dan 957 SM sebagai dua tahun yang paling mungkin.

Setelah para peneliti mencocokkan dengan catatan terkini mengenai fenomena Aurora, mereka menemukan hal lain di luar dugaan. Catatan tentang fenomena Aurora itu sangat sesuai dengan badai geomagnetik besar. Ketika pancaran aurora mid-latitude cukup terang, ia dapat menghadirkan tontonan berbagai warna.

Para peneliti juga melakukan penghitungan geografis untuk memperkirakan letak kutub magnet utara bumi pada pertengahan abad ke-10 SM. Mereka menemukan, bahwa pada masa itu kutub magnet utara bumi cenderung condong ke sisi Eurasia, atau sekitar 15 derajat lebih dekat ke Cina tengah. Fakta itu membuat aurora oval dapat terlihat di China tengah pada saat terjadi gangguan magnet yang signifikan.

Melalui temuan ini, para peneliti menyimpulkan, bahwa catatan Cina Kuno ini lebih tua dari catatan bangsa Asyur (abad ke-679-655 SM), dan catatan Yehezkiel (Abad ke-594 SM). Bahkan, umur catatan ini melebihi buku harian astronomi raja Babilonia Nebukadnezar II (Abad ke-567 SM).

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network