Upayakan Kesetaraan Gender, Aktivis Muda Perempuan Kota Pekalongan Kenalkan Metode Tafsir Mubadalah

Ribut Achwandi
Tangkapan layar dari kanal YouTube Jati Sumo Negoro: Podcast tentang Kesetaraan Gender yang menghadirkan Vika Inayati (berbaju warna cokelat).

PEKALONGAN, iNews – Hidup di tengah masyarakat yang patriarkis membuat posisi perempuan serba terbatas. Hal ini terungkap melalui pernyataan aktivis muda perempuan, Vika Inayati dalam tayangan podcast di kanal YouTube Jati Sumo Negoro. Menurutnya, budaya patriarki memandang perempuan sebagai objek, sehingga ruang geraknya menjadi sangat terbatas.

“Seringkali perempuan ketika berbicara atau bekerja ataupun melakukan sesuatu, sering kali dilabeli negatif. Berbeda dengan laki-laki. Kalau laki-laki, biasanya keluar malam-malam dimarahi nggak? Nggak ‘kan. Kalau perempuan nih podcastan kayak gini malam-malam pasti dipertanyakan orang tua. Kok ngapain sih pulang malam? Padahal kita podcastan. Padahal kita belajar bersama," tutur Vika.

Untuk itulah, ia melihat bahwa masalah kesetaraan gender menjadi isu yang perlu terus digemakan. Tujuannya, agar masyarakat menjadi semakin paham, bahwa perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Perempuan memiliki hak untuk melakukan banyak pekerjaan, mengaktualisasikan diri, dan mengekspresikan harapannya.

“Kesetaraan gender itu sebuah upaya untuk memosisikan perempuan setara dengan laki-laki. Dalam hal ini, bukan untuk menyaingi laki-laki. Akan tetapi untuk mengusahakan agar perempuan tidak tertinggal dari laki-laki,” papar perempuan muda yang dulu pernah aktif di Ikatan Pelajar Perempuan Nahdlatul Ulama (IPPNU) itu.

Dikatakannya pula, ketertinggalan perempuan itu kerap dimunculkan melalui asumsi masyarakat yang menurutnya memojokkan perempuan. Anggapan perempuan tak perlu berpendidikan tinggi, mencapai karir tinggi, dan sebagainya, yang senantiasa dikaitkan dengan masalah perjodohan mestinya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Perempuan, tutur Vika, di masa kini memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, baik dalam pendidikan, karir, pekerjaan, maupun dalam berbagai hal lainnya.

Vika juga menjelaskan, dalam pandangan Islam, Al-Qur’an maupun hadis—yang merupakan sumber utama pokok-pokok ajaran Islam—sebenarnya tidak mengkhususkan ayat maupun hadis kepada laki-laki. Sebaliknya, baik laki-laki maupun perempuan juga kerap disinggung dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun hadis. Akan tetapi, pandangan-pandangan sepihak masih kerap dijumpai. Hal ini disebabkan oleh metode tafsir yang digunakan dalam memaknai sumber-sumber hukum tersebut.

Lebih lanjut, Vika mengungkapkan tentang salah satu metode tafsir yang dikenalkan oleh Faqihudin Abdul Qodir, yaitu metode tafsir Mubadalah. Metode ini merupakan metode yang boleh dibilang baru dikenal di Indonesia. Dari istilah yang digunakan, yaitu Mubadalah, mengandung arti kerja sama antar dua pihak. Maka, di dalam menjalankan kerja sama yang dimaksud, diperlukan pula adanya saling mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain. Kata “saling”, dengan demikian, menjadi kunci utama dalam metode ini. Maka, tidak salah pula jika dalam pemahaman bahasa Indonesia, metode ini disebut pula sebagai metode “ketersalingan”.

Melalui metode tersebut, Vika menjelaskan, penafsiran ayat maupun hadis tidak hanya mengarah pada laki-laki. Akan tetapi, bisa juga menyasar pada laki-laki dan perempuan. “Karena sesungguhnya, Islam itu datang untuk laki-laki dan perempuan,” tandasnya.

Penjelasan Vika kemudian mengambil contoh sebuah ayat yang di dalamnya mengumpamakan perempuan sebagai perhiasan, terutama pada surat An Nisa ayat 34. Menurutnya, selama ini perspektif yang digunakan untuk menafsirkan ayat tersebut cenderung perspektif laki-laki. Sehingga, perlakuan terhadap perempuan cenderung overprotecting. Akibatnya, kata Vika, bukannya perlindungan yang didapat dari laki-laki, melainkan pengekangan yang diberikan.

“Namun, berbeda ketika ayat itu ditafsirkan dengan metode Mubadalah. Maka, laki-laki pun bisa dianggap sebagai perhiasan bagi perempuan,” ungkap Bu Guru cantik yang hari-harinya dihabiskan bersama murid-muridnya itu.

Meski begitu, sebagaimana diterangkan Vika kemudian, penerapan metode Mubadalah tidak bisa diterapkan untuk semua ayat yang ada di dalam Al-Qur’an. “Misal, ayat yang menerangkan tentang imam salat. Tidak bisa metode itu diterapkan,” jelas Vika. Sebab, hal itu selain tidak mungkin juga sangat erat kaitannya dengan fungsi yang melekat pada kedudukan imam.

Sementara, ketika ditanya tentang contoh dalam kehidupan sehari-hari, Vika menuturkan salah satu contoh penerapan tafsir ayat yang selama ini masih menggunakan perspektif laki-laki. Yaitu, dalam urusan hubungan suami-istri.

Vika memaparkan, sebuah ayat menerangkan tentang larangan perempuan menolak berhubungan badan. Berdasarkan tafsir yang mengandalkan perspektif laki-laki, kata Vika, perempuan yang menolak permintaan suaminya untuk berhubungan badan akan dilaknat malaikat. Oleh metode Mubadalah perspektif itu bisa saja terpatahkan.

“Padahal, sebenarnya perempuan memang boleh menolak, ketika dia memang kondisinya sedang sakit, capai, kan tidak bisa dipaksakan. Apalagi dalam berhubungan itu kan harus mu’asyarah bil ma’ruf, harus saling rela, saling rida. Jadi, tidak boleh adanya pemaksaan,” ungkap Vika.

Vika menambahkan, inti dari ketersalingan ini adalah adanya unsur komunikasi antar pihak laki-laki dan perempuan. Hal ini mesti dilakukan agar kedua belah pihak mencapai kesepakatan, sehingga mereka bisa saling mengerti, memahami, dan saling rela satu sama lain. “Jadi, bisa saling enak bareng,” ujar Vika.

Dengan cara pandang yang menukik ke dalam, metode mubadalah, menurut Vika, memiliki urgensi yang sangat kekinian. Terutama, untuk menemukan pemahaman ajaran Islam yang berakar pada pemahaman yang komprehensif. Vika menuturkan, sejak mula, kedatangan Islam telah melakukan revolusi yang sangat radikal. Islam mengubah cara pandang yang sepihak terhadap perempuan, kemudian mendudukan perempuan pada posisi yang mulia.

“Dulu, sebelum Islam datang, perempuan itu hanya didudukkan sebagai harta milik. Maka, ia boleh diwariskan. Tetapi, sejak islam datang, perempuan tidak lagi diposisikan sebagai harta yang bisa diwariskan. Malah, perempuan boleh juga memiliki harta dan mewarisi harta. Ini membuktikan, peradaban Islam sejak awal sudah sangat maju, melampaui peradaban bangsa-bangsa lain seperti Yunani dan lain-lain, yang pada waktu itu masih memosisikan perempuan sebatas sebagai harta milik,” tutur Vika.

Tersebab itu, Vika menggarisbawahi bahwa metode Mubadalah atau ketersalingan tersebut sangat relevan dengan kondisi saat ini. Menurutnya, penerapan metode ini akan membawa cara pandang setiap orang menuju pada pandangan yang adil gender. Dia juga berharap, dengan penerapan metode ini akan didapat upaya-upaya yang lebih serius dalam berbagai hal. Salah satunya, berkenaan dengan regulasi pemerintah yang mengedepankan keadilan gender.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network