Dikutip dari Kajian Habib Muhammad bin Yahya dari Eko Kuntadhi ketika subuh 19 Ramadhan 40 H. Ada juga yang mencatatnya 17 Ramadhan. Setelah berbuka puasa lelaki perkasa itu memandangi gemintang. Langit purba Arabia menunjukan tanda padanya.
“Ah, langit memang tidak pernah berdusta”, bisiknya.
Dia ingat ketika dalam satu waktu, Rasulullah SAW memeluknya sambil menangis. Rasul mulia menangisi saudaranya yang seluruh hidupnya dibaktikan untuk membuktikan ketaatan. “Nanti sepeninggalku, mereka yang selama ini membencimu akan menampakkan dirinya. Mereka akan menganiaya dan membunuhmu”.
“Saat waktu itu datang, apa yang harus aku lakukan ya Rasulullah?”
“Bersabarlah…”
Malam itu dia merenung lama sekali. Menjelang subuh, dibasahi wajahnya dengan wudhu. Ia hendak menghadap Tuhan penciptanya. Di mihrabnya yang sunyi, lelaki iyu menempelkan dahinya. Meluruhkan seluruh jiwa dan raganya kehadapan Ilahi Rabbi.
Tiba-tiba sebilah pedang diayunkan ke arahnya. Darah mengucur. Ia rebah dengan luka menganga. Pedang yang melukainya telah dilumuri racun mematikan.
Lelaki korban kebiadaban itu adalah Ali ibn Abu Thalib. Ali pernah dipuji Kanjeng Rasul sebagai pintunya ilmu. “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Siapapun yang hendak memasuki kota, dia harus melewati pintunya dahulu,” ujar Nabi.
Ali adalah lelaki pertama yang mengimani Kerasulan Muhammad SAW. Usianya masih dini, ketika di hadapan pembesar Quraish ia menyatakan sumpah setianya kepada Kanjeng Nabi. Sejak saat itu Ali selalu berada di sisi Nabi. Ia merelakan tubuh dan jiwanya untuk melindungi junjungannya.
Sedangkan pembunuh keji di malam Ramadhan itu bernama Abdurahman Ibnu Muljam.
Siapakah Ibnu Muljam? Apakah dia seorang pembenci Islam? Atau seorang yang tidak mengakui Al Quran? Atau seorang penyembah berhala?
Bukan. Ibnu Muljam dikenal rajin ibadah sampai dahinya menghitam. Dia hafal Al Quran. Dia menjalankan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak. Dia rutin sholat malam.
Dengan segala ibadahnya yang menurutnya hebat itu, Ibnu Muljam merasa lebih Islami dari Ali. Lebih beragama dari Amirul Mukminin.
Ibnu Muljam mengkafirkan Ali. Menuduh Ali tidak berpegang pada hukum Allah. Lantas lelaki tukang ibadah tetapi bebal itu merasa berhak untuk menumpahkan darah Ali.
Ibnu Muljam menista keluasan ilmu Imam Ali dengan kedangkalan pikirannya. Padahal Rasulullah yang mulia pernah berkata kepada Ali, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik”.
Tiga hari setelah peristiwa itu, Imam Ali syahid. Peribadi agung itu wafat akibat tebasan pedang seorang yang mengaku muslim. Ali dibunuh oleh orang yang mengaku ingin menegakkan hukum Allah.
Peristiwa tersebut adalah salah satu tragedi yang paling memilukan dalam sejarah Islam. Dari tangan Ibnu Muljam, cahaya agama ingin dimatikan.
Ideologi Ibnu Muljam adalah ideologi yang menganggap orang yang tidak sepemikiran dengannya sebagai kafir. Orang yang berbeda dengannya adalah sesat. Karena itu wajib dibinasakan.
Orang seperti Ibnu Muljam selalu berteriak, “berpeganglah pada hukum Allah.” Untuk menghardik siapa saja yang berbeda dengannya.
Padahal maksudnya, hukum Allah menurut versinya sendiri. Hukum Allah yang ditafsirkannya sendiri.
Orang-orang pandir itu merasa keluasan kitab suci bisa ditekuk dalam keterbatasan isi kepalanya yang sedikit. Orang-orang seperti ini memamah agama dengan memupuk kedengkian.
Jika orang berbeda versi tentang agama Ibnu Muljam langsung menuding orang tersebut keluar dari Islam. Langsung mencapnya masuk neraka. Dan yang paling mengerikan, menghalalkan darahnya.
Dari sekadar seorang manusia pandir, Ibnu Muljam ingin menjelma menjadi Tuhan. Dia merasa berhak membunuh orang lain dengan keji.
Ibnu Muljam yang selalu menampakkan diri sebagai ahli ibadah ini dicatat sejarah dengan tinta paling nista karena memercikan darah seorang manusia mulia.
Dia dengan bengis menebaskan pedangnya kepada Ali bin Abi Thalib. Ditebas ketika Ali sedang bersujud. Padahal Ali adalah orang yang mencintai dan dicintai Kanjeng Rasul. Dalam soal pemahaman keagamaan, boleh dibilang Ali adalah orang yang paling memahami Islam setelah Rasulullah.
Ibnu Muljam telah lama mati. Tapi cara berfikirnya diwarisi sampai saat ini. Cara berfikir kaum Khawarij. Mereka yang selalu merasa benar sendiri sambil memamerkan ibadah ritualnya untuk menakut-nakuti orang.
Dari semangat Khawarijme inilah lahir pemahaman Wahabi pembawa misi Ibnu Muljam baru.
Ibnu Muljam abad ini lahir dan berkembang biar. Mereka yang kemana-mana membawa kerusakan. Yang selalu membuat keributan dengan alasan ingin menegakkan hukum agama.
Cirinya, mereka sibuk dengan ibadah ritual. Sibuk dengan simbol-simbol beragama. Mereka mudah mengkafirkan orang lain, sangat membenci perbedaan dan merasa paling Islam sendiri. Mereka merasa telah memegang kunci surga. Padahal mereka sejenis iblis dengan jubah kesalehan.
Ibnu Muljam sekarang mungkin berwajah ISIS yang membawa nama Allah untuk membantai manusia lainnya. Mungkin berwajah para teroris yang membawa bom bunuh diri untuk menghancurkan siapa saja yang dianggap kafir. Mungkin berwajah bigot, yang gampang teriak kopar-kapir.
Mungkin mereka yang bertakbir untuk menakut-nakuti orang lain. Mungkin juga berwajah ahli ibadah yang merasa paling sholeh dan mudah mensesatkan orang lain.
Mereka bangga dengan kesalehan ritual, tetapi begitu gampang membenci manusia lain. Mereka sibuk dengan ibadah kepada Tuhan, tetapi lupa berbuat baik kepada lingkungannya.
Ibnu Muljam-Ibnu Muljam baru kini makin banyak jumlahnya di sekitar kita. Merekalah yang akan menjadikan agama rahmatan lil alamin menjadi ajaran kekejian. Merekalah yang setiap hari berteriak penuh kemarahan. Semakin mereka beribadah, orang menjadi semakin ngeri di dekatnya.
Ketika berkotbah, mereka gemar mencaci. Ketika berpartai mereka hobi menabur fitnah dan kebencian. Ketika berorganisasi mereka kerap membuat kekacauan dan kerusakan. Ketika bernegara mereka hendak menghancurkannya.
Mereka memimpikan surga di akhirat. Tetapi dalam kehidupan di dunia neraka melulu yang dibuatnya. Mereka berteriak, Ya Rahman, Ya, Rahim. Tetapi kebencian melulu yang ditebarkan. Mereka ngaku berzikir, tetapi zakar juga yang dipikirkan.
Setiap Ramadhan kita akan selalu mengenang syahidnya seorang putra Abu Thalib yang seluruh hidupnya dibaktikan untuk kebenaran. Yang dari lisannya mengalir mutiara-mutiara hikmah. Yang dari tangannya keadilan ditegakkan. Yang dari fikirannya, kegelapan disingkapkan.
Dunia dihiasi oleh kematian-kematian yang indah. Sejarah mencatat, tebasan pedang di saat subuh pada Ramadhan itu, membawa kematian yang indah bagi Imam Ali.
Editor : Hadi Widodo