Peralihan kekuasaan pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Kuno dilangsungkan secara damai. Tidak menimbulkan kekisruhan, apalagi sampai pada perpecahan di antara para raja. Malahan kisah-kisah yang menuturkan tentang aksi bunuh-membunuh di antara para raja sebenarnya sangat jarang terjadi. Atau malah tidak pernah terjadi.
Demikian diungkap K.R.T. Manu J. Widyaseputra, filolog Sanskerta dan Jawa Kuno Universitas Gadjah Mada, dalam sebuah tayangan video berdurasi 17 menitan di kanal youtube Caknun.com tertanggal 30 Juli 2022 lalu.
Sebagaimana dijelaskan, konsep ketatanegaraan Jawa Kuno, mengenal tiga fase pertumbuhan kerajaan yang disebut bhawacakra. Ketiga fase itu adalah upati (masa kelahiran), setiti (masa hidup), dan pralina (masa regenerasi).
“Setiap kerajaan akan melewati 3 fase ini. Dan setiap kerajaan hanya akan memiliki 9 raja. Kalau sudah 9, maka kerajaan itu akan selesai,” ungkap Prof. Manu.
Aturan tersebut, berdasarkan berbagai sumber literasi yang dikupas Prof. Manu, berlaku di semua kerajaan. Bahkan, boleh jadi berlaku pula pada peradaban modern yang disebut sebagai negara. Sebagai misal, kerajaan Mataram Kuno hanya memiliki 9 raja. Setelah itu, pusat kekuasaan berpindah ke dinasti baru, wangsa isyana di bawah kepemimpinan Mpu Sindok. Pusat kerajaannya pun berpindah ke Jawa Timur.
“Demikian pula pada masa Medang, Kahuripan, Kadiri, Singasari, Majapahit, dan seterusnya. Jadi, ketika sebuah kerajaan sudah melewati 9 raja, itu harus ada regenerasi,” jelasnya.
Diungkap pula, dalam proses regenerasi tersebut mesti dilakukan dengan yudha atau ranayajnya. Lewat proses inilah regenerasi yang dijalankan akan lebih baik dan melahirkan kebaruan-kebaruan di kemudian hari.
Meski demikian, proses tersebut bukan berarti memutus mata rantai sejarah kekuasaan. Sebaliknya, peralihan kekuasaan dari satu kerajaan ke kerajaan lain dilakukan sebagai kesinambungan sekaligus menaikkan status kekuasaan.
“Kenaikan status kerajaan atau kekuasaan ini tidak didasarkan pada seberapa luas wilayahnya dan seberapa besar kekuasaannya. Tetapi dia nanti akan menjadi kerajaan yang semua watak kekuasaannya adalah watak manusia—dalam hal ini manusia menduduki pada tataran paling bawah—menjadi kekuasaan yang naik menjadi tataran buta. Kemudian, naik lagi ke pitara, resi, hingga menjadi dewa yajnya,” terang Prof. Manu.
Tersebab itu, proses regenerasi yang dijalankan lebih mengutamakan dharmayudha, bukan kuthayudha. Perang yang dilakukan bukan untuk melangsungkan sebuah usurpator (perebutan kekuasaan) melainkan untuk meregenerasi kekuasaan. Dengan begitu, tidak ada satu pun kerajaan yang dihancurkan oleh kerajaan baru. Akan tetapi, kerajaan baru hanya mengambil alih peran kekuasaan untuk melanjutkan tongkat estafet kekuasaan menuju pada cita-cita bersama, yaitu membangun kekuasaan yang lebih baik.
“Jadi, kita tidak bisa mengatakan setelah Kadiri selesai, kemudian Singhasari sebagai sesuatu yang baru. Tidak demikian. Begitu juga dengan Majapahit. Dikira tidak ada kesinambungan. Antara kerajaan satu dengan yang lainnya ini ada kesinambungan,” ungkapnya.
Dijelaskan pula, gradasi antara satu kerajaan dengan kerajaan lain terjadilah sambandha. Masa inilah yang memungkinkan terjadinya proses regenerasi. Ranayajnya juga terjadi pada masa sambandha tersebut. Bahkan, masa sambandha ini wajib ada. Sebab, jika tidak sempat terjadi, maka era kerajaan lama dapat dinyatakan berkurang karena telah habis masanya.
“Maka sambandha itu sangat penting sekali, karena di dalam sambandha itu ada proses ranayajnya itu untuk melanjutkan generasi yang akan datang. Misalnya, seperti yang dilakukan Ken Arok. Peralihan dari Kadiri ke Singasari. Dikira yang namanya Ken Arok dikira orang lain. Dia ini bukan orang lain. Di depannya Ken Arok itu ada Tunggul Ametung, raja utama Tumapel. Pada masa Tunggul Ametung tampak terjadi keruwetan yang sangat panjang. Kelihatannya terjadi bunuh-membunuh. Tetapi, bukan itu yang sebenarnya. Yang dilakukan Ken Arok bukan kuthayudha. Itu adalah dharmayudha. Tujuannya, agar kerajaan Tumapel naik statusnya,” terangnya.
Hal serupa juga terjadi pada kerjaaan Majapahit, yang menurutnya, kerajaan besar Jawa itu tidak pernah dihancurkan oleh kekuasaan baru, Demak. Setelah melewati 9 raja, kerajaan Majapahit dengan sendirinya mengalami proses pralina (regenerasi).
“Itu terjadi tanpa disuruh-suruh. Jadi, tidak bisa kita seenaknya mengatakan bahwa misalnya Raden Patah menyerang ayahnya, raja Majapahit, Brawijaya V. Itu sama sekali tidak begitu,” tutur Prof. Manu.
Untuk alasan itu pula, ia menyarankan, agar bangsa Nusantara ini perlu lebih teliti dan berhati-hati dalam memahami konteks ketatanegaraan Nusantara. Sebagaimana dalam pemahaman umum, selama ini masyarakat Nusantara kerap memahaminya secara keliru. Bahwa proses peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak tidak dilakukan dalam konteks kuthayudha, melainkan melalui dharmayudha.
“Majapahit itu tidak pernah mengalami kehancuran, kemudian dengan sendirinya ada regenerasi lagi. Siapa? itu adalah Raden Patah. Begitu juga Raden Patah turun akan mengalami proses regenerasi,” ujarnya.
Sayang, dalam perjalanannya kemudian, terutama pada abad ke-20, konsep peralihan kekuasaan ini hampir-hampir tidak lagi dipahami oleh raja-raja di Jawa dan Nusantara. Terutama, menyoal 3 fase pertumbuhan kerajaan, upati, setiti, dan pralina.
“Inilah yg perlu kita mengerti. Bahwa ada peristiwa yang namanya upati, setiti, dan pralina, itu perlu kita pahami betul. Jangan sampai situasinya itu kita artikan seperti negara-negara lain yang di situ orang berebut kekuasan. Sebetulnya kita tidak pernah ada seperti itu. Negeri nusantara ini sebetulnya kalau tidak dicampuri ketatanegaraan dari negeri asing itu damai-damai saja. Apalagi hampir di seluruh kerajaan di nusantara itu menganut dharmayudha, bukan kuthayudha. Sehingga, pergantian regenerasi itu akan berlangsung dengan dharma tidak dengan kasar,” pungkasnya.
Editor : Ribut Achwandi