Hingga saat ini, pemahaman tentang istilah batik masih simpang siur. Setiap orang, terutama penggemar batik, memiliki pemahaman yang berbeda-beda, sesuai pengetahuan masing-masing. Akibatnya, definisi batik belum menemukan bentuk yang pasti.
Manu J. Widyaseputra, filolog cum pakar sastra Jawa Kuna dan Sanskerta menyayangkan hal tersebut. Kerancuan pemahaman istilah batik, menurut Manu, terlihat melalui asal bahasa yang kerap campur aduk. Misal, penggunaan kata “titik” oleh sebagian orang. Kata tersebut tidak tepat untuk dijadikan dasar pendefinisian istilah batik. Kata tersebut berasal dari bahasa Melayu. Sementara, asal-usul istilah batik murni dari bahasa Jawa.
“Karena menurut mereka membatik itu dimulai dari membuat titik. Maka, batik itu terjadi karena titik-titik itu. Titik itu bahasa Melayu, bukan bahasa Jawa,” ungkap pakar bahasa Sanskerta jebolan Universitas Leiden.
Hal serupa juga terjadi pada istilah kain mori. Menurut sebagian orang, tutur Romo Manu, kata mori diadaptasi dari bahasa Sanskerta. Padahal, kata mori justru asli bahasa Jawa. Hanya, dalam suatu periode sejarah, kata ini diambil dan diadaptasi ke dalam bahasa-bahasa di India selain Sanskerta, seperti bahasa Tamil dan Nepali.
“Karena itu, banyak orang mengatakan (kata mori) dari bahasa India. Padahal, dari bahasa Jawa. Diambil oleh bahasa-bahasa di India. Bahasa Jawa itu banyak sekali yang diambil bahasa Sanskerta dan bahasa-bahasa India lainnya, seperti Tamil, Malayalam, Hindi, Nepali, dan sebagainya. Misalnya, kata udan, ula. Jadi, tidak hanya bahasa Sanskerta yang diambil bahasa Jawa,” terang Manu.
Selain masalah bahasa, untuk membuktikan bahwa batik asli dari Nusantara, Romo Manu menyebutkan, bahan dan peralatan yang digunakan untuk membatik (canting dan malam) hanya dijumpai di wilayah Austronesia. “Di tempat-tempat lain tidak dijumpai bahan-bahan itu,” ungkapnya.
Guru Besar Filologi Sanskerta dan Jawa Kuna ini menjelaskan, dalam ilmu bahasa, bunyi “tik” pada kata “batik” merupakan bunyi lingual, bukan dental. Bunyi “tik” lingual (ṭik) merupakan bunyi yang khas bahasa Jawa. Sementara dalam bahasa Melayu bunyi “tik” cenderung bunyi dental. Penjelasan Romo Manu sekaligus menegaskan, pendefinisian istilah batik yang mencampurkan unsur bahasa tidaklah tepat.
Sementara, jika menggunakan bahasa Jawa, kata “tithik” dalam bahasa Jawa tidak semakna dengan kata “titik” dalam bahasa Melayu. Kata “tithik” (tiṭik) memiliki arti menatah batu sedikit demi sedikit. Tersebab itu, jika istilah batik diidentikkan dengan kata “tithik” juga akan menimbulkan kerancuan makna. Sebab, istiah batik lebih dekat dengan menggambar dibandingkan menatah.
Demikian halnya dengan pendefinisian istilah batik ke dalam bentuk kerata basa Jawa, mbaka setithik. Menurutnya, kerata basa tersebut tidaklah tepat. Malah, cenderung menjadi otak-atik gathuk alias asal comot. Meski memang, dalam praktiknya, membuat batik itu dilakukan sedikit demi sedikit, sehingga prosesnya pun cukup memakan waktu lama. Namun, ia kembali menegaskan, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar dalam penentuan definisi istilah batik.
Lewat permasalahan bahasa yang diungkapkannya, Romo Manu juga menyayangkan, selama ini upaya menelusuri asal-usul istilah batik belum serius dilakukan. Para peneliti cenderung hanya mengambil dari apa yang disampaikan oleh para penggemar batik. Tetapi, tidak sungguh-sungguh meneliti akar bahasa batik itu sendiri.
“Bagi orang yang tidak terlalu memperhatikan hal itu ya nggak persoalan. Sementara, bagi kita yang mempelajari batik sungguh, kita jangan mengabaikan persoalan kecil seperti ini. Selama ini, etimologi kata batik masih belum diteliti secara sungguh-sungguh. Para peneliti belum pernah melacak asal-usul kata batik dan hanya mengikuti apa yang dikatakan para penggemar batik.
Sedangkan para penggemar batik hanya mendapatkan informasi secara lisan dari orang-orang lain,” ungkapnya.
Menurutnya, penelusuran istilah batik menjadi persoalan yang vital di dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, usaha tersebut tidak bisa dijalankan tanpa kesungguhan. “Mungkin bagi mereka yang tidak studi filologi dan linguistik hal kayak gini ini megahi (membuat jengah) sudah. Ya sudah orang itu malas untuk belajar, ah kenapa sih kayak gitu itu dipersoalkan? Tetapi, bagi seorang filolog, seperti pekerjaan saya, itu begitu kata itu berubah, dia akan berubah arti akan membawa makna yang lain. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama kita ulang lagi. karena itulah saya berusaha sekarang untuk melacak kembali sebetulnya kata batik ini dari apa,” terang Romo Manu.
Untuk alasan itu, Romo Manu kemudian menyodorkan upaya penelusuran asal-usul istilah batik tersebut dengan mempertimbangkan sumber-sumber filologis kuno dalam bahasa Jawa Kuna, Pertengahan dan Sanskerta. Menurutnya, lewat sumber naskah Jawa Kuna pelacakan istilah batik dapat ditelusuri. Sebab, kosakata tersebut dapat ditemui dalam banyak teks Jawa Kuna.
Editor : Ribut Achwandi