JAKARTA, iNewsPantura.id - Arab Saudi dikenal dunia internasional sebagai salah satu negara kaya raya di dunia lantaran memiliki hamparan luas kekayaan alam.
Namun jangan salah, status tersebut bukan berarti Arab Saudi tak memiliki utang guna menutupi defisit anggaran. Bahkan, berdasarkan data, catatan utang Arab Saudi terbilang sangat luar biasa, jauh di atas Indonesia.
Hal itu dapat terjadi karena banyak alasan. Salah satunya adalah lantaran dipicu oleh anjloknya harga minyak dunia, yang membuat keuangan negara Petrodollar tersebut defisit dengan angka yang cukup signifikan.
Defisit APBN Arab Saudi pertama kali terjadi pada 2014, dengan nilai defisit mencapai 54 miliar riyal, atau sekitar Rp203 triliun. Dari nilai tersebut, posisi utang pemerintah tercatat mencapai 60,1 miliar riyal, atau sekitar Rp225 triliun.
Saat itu, defisit APBN dipicu karena terjadinya perluasan pembangunan Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinnah, yang diharapkan dapat menambah daya tampung menjadi 2,5 juta jamaah. Yang jadi masalah, proses perluasan dilakukan berbarengan dengan anjloknya harga minyak, yang kala itu sampai membuat Arab Saudi tidak mampu melanjutkan proyek perluasan kedua masjid tersebut.
Karena harga minyak terus melemah, maka Arab Saudi memutuskan menarik utang di bank dan berencana meminjam USD10 miliar dari konsorsium bank global. Setelah 25 tahun tidak pernah mengambil utang, Arab Saudi pada akhirnya melakukan penerbitan utang internasional pertama, karena pendapatan Arab yang merosot akibat banjir pasokan yang terjadi.
“Utang adalah cara bagi Arab Saudi untuk menguji pasar dan mengatur profil pinjaman internasional. Hal ini membuka jalan bagi kerajaan untuk mengubah dari negara kreditor menjadi bangsa debitur. Ini adalah perubahan yang signifikan dari pasar obligasi," ujar Kepala Strategi Investasi di BlackRock, Ewen Cameron Watt.
Pada 2015, Arab Saudi kembali mengalami kerugian setelah raja Arab yang baru, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud memutuskan untuk ikut dalam perang sipil di Yaman. Sehingga pada tahun tersebut defisit APBN Arab Saudi membengkak menjadi 367 miliar riyal atau setara Rp1.378 triliun. Total utang Saudi di 2015 bertambah menjadi 142 miliar riyal atau setara Rp533 triliun.
Sementara total utang meningkat sebesar 316,5 miliar riyal atau setara Rp1,188 triliun. Tumpukan utang tersebut merupakan dampak dari rendahnya harga minyak dunia dalam 2,5 tahun terakhir. Tahun 2017 defisit Arab Saudi mengecil jadi 8,9 persen dari total APBN. Total defisit turun menjadi 230 miliar riyal atau setara Rp863 triliun.
Sementara utang negara itu menjadi 443,1 miliar riyal atau setara Rp1.663 triliun. Pada 2018, Arab Saudi terus memperbaiki perekonomiannya. Tercatat penerimaan negara naik menjadi 783 miliar riyal atau setara Rp2.900 triliun dan defisit tercetat 195 miliar riyal, atau setara Rp732 triliun. Sementara hutang negara naik ke angka 558 miliar riyal atau sekitar Rp2.095 triliun.
Kementerian Keuangan Arab Saudi memproyeksikan defisit anggaran 2020 meningkat menjadi sekitar USD79 miliar atau Rp1,1 kuadriliun, dengan asumsi kurs Rp14.148 per dolar AS. Pembengkakan defisit disebabkan karena adanya pandemi Covid-19. Dan berdasarkan hasil laporan Kementerian Keuangan setempat, defisit anggaran diproyeksikan meningkat di akhir 2020 menjadi sekitar 298 miliar riyal yang diproyeksikan mengecil sampai 2021 menjadi 141 miliar riyal.
Pemerintahan Arab Saudi melakukan beberapa hal untuk memperkecil defisit anggaran dengan menaikkan pajak bagi produk-produk seperti rokok dan minuman kemasan, serta merombak peraturan perpajakan. Memasuki 2018 perekonomian Arab Saudi semakin membaik.
Kemudian pada 2020 dunia mulai dilanda pandemi Covid-19, dimana banyak negara mengalami dinamika ekonomi karena pandemi Covid-19 dan turbulensi politik. Ketika itu, Menteri Keuangan Saudi, Mohammed Al Jaddan memprediksi, penerimaan negara turun menjadi 833 miliar riyal atau Rp3.128 triliun.
Pandemi juga turut menyeret perekonomian Arab Saudi dan menambah dinamika baru pada perekonomian Arab Saudi. Pasalnya virus corona membuat permintaan pasar minyak di dunia menyusut tajam, karena kebijakan lockdown dan larangan bepergian hingga membatasi jamaah haji dan umrah, serta dana besar penanganan Covid-19.
Hal ini menyebabkan Arab Saudi harus berutang lagi. Pemerintah pun merevisi target pendapatan menjadi 770 miliar riyal atau Rp2.891 triliun, turun 16,9 persen dibanding 2019. Sementara utang diprediksi membengkak menjadi 941 miliar riyal atau Rp3.533 triliun, naik 32,9 persen dibanding 2019. Defisit anggaran Arab Saudi diproyeksikan senilai USD50 miliar atau Rp707 triliun pada 2020, naik USD15 miliar atau setara Rp212 triliun dari setahun sebelumnya.
Sementara itu Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengungkapkan, sejumlah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam memiliki utang seperti halnya Indonesia. Utang tersebut dihimpun untuk menjaga stabilitas perekonomian. Bendahara negara menyebut contoh negara Islam yang berutang dari Arab Saudi hingga Afghanistan.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) sebelumnya mencatat utang luar negeri Indonesia pada akhir Mei 2020 sebesar USD404,7 miliar. Nilai itu setara Rp5.922 triliun (kurs Rp14.633 per dolar AS). Nilai utang itu meningkat dibandingkan posisi April 2020 lalu yang sebesar USD400,2 miliar.
Utang tersebut terdiri dari sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar USD194,9 miliar dan sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD209,9 miliar.
Berdasarkan data terakhir Bank Indonesia, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Juli 2022 adalah sebesar USD400,4 miliar atau Rp6.086 triliun. Angka ini turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar USD403,6 miliar (Rp6.131,6 triliun).
Editor : Hadi Widodo