PEKALONGAN, iNewsPantura.id – Inovasi dalam pelayanan publik dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan publik yang terus berkembang seiring perubahan sosial. Dari pelayan publik itulah kehadiran pemerintah akan dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pemerintah di era sekarang harus lincah, tangkas dan cepat, atau atau yang dikenal dengan istilah agile governance. Konsep agile ini mengacu pada birokrasi yang sarat dengan kecepatan, kemudahan dan berfikir out of the box atau antimainstream tentunya bukan dalam kerangka sensasional namun untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.
Banyak cara atau pendekatan yang dapat digunakan untuk melahirkan inovasi,diantaranya adalah pendekatan Design Thinking atau desain pemikiran yaitu bagaimana aparatur pemerintahan memahami pengguna, menantang asumsi, dan mendefinisikan kembali masalah dalam upaya mengidentifikasi strategi dan solusi alternatif untuk melayani warga.
Ada lima tahapan dalam design thinking untuk mendorong munculnya inovasi pelayanan public:
1. Emphatize
Tahap ini merupakan tahap awal, dimana kita mempraktekkan empati. Kita harus memahami dan berempati pada masalah yang dihadapi warga sehingga bisa memacu birokrat untuk menggali masalah di masyarakat dan menemukan solusinya.Tahapan ini bentuknya di antaranya bisa melalui observasi, wawancara, foto/video, maupun survey dengan melibatkan diri ke masyarakat.
2. Define
Tahap ini merupakan tahap mendefinisikan masalah inti dalam bentuk problem statement (pernyataan masalah) yang berfokus pada kelompok
sasaran. Tahap ini akan membantu mempermudah inovator dan tim dalam memahami permasalahan dan memikirkan ide/solusi untuk mengatasi
masalah. Awal proses ini adalah dengan merumuskan HMW Question – pertanyaan “How Might We” – pertanyaan ini akan membuka alternatif-
alternatif awal untuk memicu munculnya ide-ide kreatif lebih banyak.
3. Ideate
Di tahap ideate ini mulai terkumpul ide-ide yang menjadi alternatif solusi untuk masalah yang telah dirumuskan. Ada banyak teknik untuk
mengumpulkan ide, antara lain brainstorming, braindumping, dan Worst Possible Idea. Ide-ide alternatif yang terkumpul ini kemudian dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu kelompok feasibility (ide yang bisa dieksekusi dengan teknologi), viability (ide yang memiliki pengaruh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik), dan desirability (ide yang diinginkan
oleh kelompok sasaran dalam memecahkan masalahnya).
4. Prototype
Ide untuk memecahkan masalah haruslah diwujudkan dalam bentuk nyata, karena dalam design thinking ide saja tidak cukup. Cara untuk mewujudkan ide tersebut ke dalam bentuk nyata adalah dengan membuat prototype atau purwarupa. Prototype merupakan sebuah model awal dari “produk inovatif” yang akan digunakan sebagai solusi dari masalah pada kelompok sasaran. Prototype bukanlah bentuk akhir produk inovasi, tetapi sebuah model sebagai sarana “belajar” untuk menemukan kelebihan dan kekurangannya, sebelum benar-benar diwujudkan dalam bentuk akhir produk inovatif yang diimplementasikan pada kelompok sasaran ataupun masyarakat luas.
5. Test
Prototype yang sudah dibuat perlu dilakukan ujicoba ke kelompok sasaran. Kelompok sasaran yang mendapat “treatment” ujicoba ini akan memberikan umpan balik berupa masukan untuk perbaikan pada produk tersebut. Umpanbalik dari kelompok sasaran ini perlu dicatat sehingga tersedia data yang cukup dalam mengambil keputusan perbaikan. Pengujian dapat dilakukansecara berulang-ulang (iteration) sampai ditemukan solusi yang paling tepat untuk permasalahan yang ada.
Melalui tahapan-tahapan design thinking ini akan lahir inovasi-inovasi di sektor publik sebagai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh
pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Lahirnya inovasi-inovasi ini merupakan bentuk dari pemerintahan yang agile di mana pemerintah lincah, sigap dan tangkas dalam mengatasi masalah maupun mewujudkan pelayanan
yang cepat, mudah dan murah di sektor publik.
*) Penulis : ASN di Setda Kabupaten Pekalongan
Editor : Muhammad Burhan