JAKARTA – Gairah investasi minyak dan gas (migas) di Indonesia masih kalah menarik dibandingkan negara tetangga, Thailand, Vietnam dan Malaysia.
Oleh karena itu, rendahnya investasi ini menjadi pemicu produksi minyak dan gas (migas) Indonesia, sehingga tercatat masih lebih rendah dibanding target dalam APBN.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memaparkan, banyak faktor yang menyebabkan produksi migas dalam negeri sulit mencapai target jika atraktivitas berinvestasi di Indonesia, baik dari segi hukum maupun kebijakan fiskal, belum menarik.
"Atraktivitas investasi di Indonesia harus ditingkatkan karena jauh di bawah Thailand, Malaysia, Vietnam," ujar Mamit dalam IDX Channel Market Review, Senin (7/3/2022).
Menurutnya, revisi UU Migas belum kunjung rampung. Padahal, dengan UU ini, investor akan merasa aman dan yakin menanamkan modalnya di Indonesia.
Faktor lainnya adalah sebagian besar lapangan migas di Indonesia sudah tua (mature) sehingga produksinya pun menurun.
"Lalu lapangan migas banyak di laut dalam (offshore) sehingga nilai investasi cukup besar dan lebih banyak di Indonesia Timur lokasinya, karena di barat sudah mengalami natural decline," jelasnya
Selain itu, isu sosial yang sedang berkembang di Indonesia juga menjadi faktor yang membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Isu ini berkaitan dengan isu pembebasan lahan, masyarakat adat hingga konflik yang tengah terjadi di dalam negeri.
"Namun diharapkan produksi ini meningkat karena harga minyak dunia saat ini sedang tinggi-tingginya. Di satu sisi, harga minyak tinggi ini memang membuat Indonesia mendapat windfall profit dari sisi hulu, namun di sisi hilir artinya jumlah subsidi energi akan lebih besar," katanya.
Tercatat pada 2021, realisasi lifting minyak mencapai 660 ribu bph, lebih rendah dari target dalam APBN 2021 sebesar 705 ribu bph. Sementara, realisasi lifting gas pada 2021 mencapai 5.501 MMSCFD, lebih rendah dari target APBN sebesar 5.638 MMSCFD.
Editor : Hadi Widodo