JAKARTA - Sejak kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada minyak goreng diterapkan, hal ini dinilai tidak tepat dan menimbulkan pasar gelap di tengah masyarakat.
Berdasarkan pernyataan Direktur Utama PT Sumi Asih Alexius Darmadi, kebijakan itu bakal memicu perbedaan yang signifikan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan yang ada di lapangan.
"Sistem DMO, DPO, dan HET ini akan membuat adanya black market. Ini pasti semua orang tahu ada pedagang dadakan, ini ada gap dan saya heran kok yang dikeluarkan pengusaha sawit kok nggak ada di pasaran. Ini pasti ada black market," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3/2022).
Selain itu, Darmadi juga menilai bahwa kebijakan HET yang ditetapkan pemerintah guna mensejahterakan rakyat ini malah akan membuat kericuhan antara Satgas Pangan dengan produsen minyak goreng yang tidak melakukan ekspor.
"Kalau dengan sistem DMO, DPO, dan HET apakah itu bisa jalan? Ini akan ada kericuhan antara Satgas Pangan dengan produsen. Tetapi apa Satgas Pangan itu tau, bukan meremehkan tapi yah sosialisasinya kan butuh waktu," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga juga mengatakan bahwa adanya kebijakan baru mengenai Domestic Market Obligation (DMO) crude palm oil/CPO yang dinaikkan menjadi 30 persen di mana sebelumnya hanya 20 persen akan memberatkan pelaku industri sawit.
Pasalnya, pemerintah sendiri sudah mengklaim berhasil mengumpulkan 415 juta liter minyak goreng dari kebijakan DMO sebelumnya. Sedangkan di Indonesia sendiri, masyarakatnya hanya membutuhkan 330 juta liter minyak goreng.
"Tidak perlu DMO 30 persen, cukup 20 persen dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," ujar Sahat dalam konferensi pers.
"Kebijakan itu akan mempersulit eksportir, bahkan bisa membuat aktivitas ekspor jadi macet," sambungnya.
Editor : Hadi Widodo