Tak Kunjung Damai , The Sato Hotel Masih Berseteru dengan Tetangga Soal Ganti Rugi Kerusakan

KUDUS, iNewsPantura.id -- Perselisihan antara The Sato Hotel Kudus dengan dua warga yang tinggal di sebelahnya, yakni Beny Ongkowijoyo dan Beny Djunaedi, terus berlarut tanpa titik temu. Meski sudah berulang kali difasilitasi tokoh masyarakat, pemerintah daerah, aparat kepolisian, hingga pengadilan, mediasi yang dijalankan selalu menemui kebuntuan.
Kuasa hukum The Sato Hotel, Agus Susanto, SH, menyebut bahwa pihaknya sudah mengikuti aturan main dan bersedia menyelesaikan masalah dengan cara damai. Namun, mediasi yang seharusnya mencari win-win solution justru selalu gagal di ujung jalan.
“Kalau mencari keadilan itu sudah ada sarananya, yaitu mediasi. Dan mediasi ini sudah kita lakukan dengan melibatkan penegak hukum, tokoh masyarakat, Pemda, sampai pengadilan. Tapi semua selalu buntu. Padahal, mediasi itu tidak ada yang menang dan kalah, semuanya bisa diuntungkan,” ungkap Agus.
Agus menjelaskan, perseteruan ini berawal dari pembangunan The Hotel Sato yang efeknya merusak rumah tetangga sebelah dan belakang hotel. Sudah berkali-kali disidangkan dipengadilan dan berbagai upaya media. Namun gagal mencapai kata sepakat, khususnya soal ganti rugi kerusakan tersebut. Sampai pada akhirnya, pihak tetangga meminta The Sato Hotel menghadirkan juru taksir independen untuk menghitung nilai kerugian.
Awalnya kata dia, mereka minta appraisal dari PUPR, keluar angka sekitar Rp 600-an juta. Lalu mereka menolak karena dianggap memihak hotel. Kemudian dari Polda didatangkan lagi seorang juru taksir yang juga dosen sekaligus Ketua Persatuan Insinyur Indonesia, dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan appraisal pertama.
"Tapi lagi-lagi ditolak, karena mereka tetap ngotot di angka sekitar Rp4 miliar dengan alasan biaya pengacara dan lain-lain. Meski kabar terakhir nilai tuntutan ganti ruginya telah turun menjadi Rp3.7 Miliar. Kalau cara seperti ini, tanpa ada pembicaraan sehat melalui mediasi, saya rasa akan sulit menemukan solusi,” jelasnya.
Menurut Agus, manajemen hotel sejak awal sudah menyanggupi berbagai permintaan, mulai dari perbaikan bangunan hingga kompensasi. Namun, setiap kali hampir mencapai kesepakatan, pihak tetangga justru menarik diri.
“Awalnya mereka bilang iya, sudah setuju, tetapi ketika masuk ke tahap akhir penandatanganan kesepakan, mereka menolak. Ini yang menurut saya tendensius. Seolah-olah kasus ini sengaja diperpanjang supaya menjadi kegaduhan,” tegasnya.
Kegagalan mediasi bukan karena hotel tidak beritikad baik, melainkan karena adanya tuntutan sepihak.
“Kalau satu pihak menekankan harus sesuai nominal tertentu, itu bukan mediasi. Itu pasti buntu. Dari pihak hotel, sudah ada kompensasi, sudah ada ajuan perbaikan, tapi tetap ditolak. Jadi, apa sebenarnya yang dicari?” katanya.
Agus mengungkapkan, mediasi telah dilakukan 4 hingga 5 kali dengan melibatkan berbagai pihak. Namun hasilnya tetap nihil.
“Dulu bahkan sudah clear, tapi ketika masuk ke ranah penandatanganan, mereka tidak mau sepakat. Jadi kami pertanyakan, ada apa ini sebenarnya?” tutupnya.
Sementara itu, Kuasa hukum dua Benny yakni Dr. Budi Suprayitno, SH., MH., menegaskan bahwa klaim kerugian yang menjadi dasar sengketa ini mengacu pada hasil laboratorium independen Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, yang menyebut kerugian bangunan milik Benny Ongkowijoyo mencapai sekitar Rp2 miliar lebih, sementara milik Benny Djunedi sekitar Rp1,6 miliar.
Selain itu, perhitungan kasar berdasarkan harga bangunan per meter persegi di lapangan juga memperkuat klaim kerugian.
“Bangunan rata-rata 6–7 juta per meter persegi. Jika dikalikan luas bangunan, hasilnya sejalan dengan hitungan laboratorium. Sedangkan pihak Sato cuma ngasih ganti rugi sekitar 300 juta per rumah, dan itu sangat jauh dari hasil penilaian laboratorium itu” tandasnya.
Editor : Suryo Sukarno