Dalam sebuah obrolan kopi, Mas Eko Tunas, sastrawan Tegal yang juga seorang senior saya berujar seputar dunia kepenulisan. Dengan gayanya yang enteng, seniman serba bisa yang kini tinggal di Kota Atlas itu berkelakar, bahwa syarat utama seseorang agar bisa menjadi seorang penulis itu tidak ribet. Yaitu, dia tidak buta huruf, titik!
Kontan, kelakar pria kelahiran tahun 1956 dan pernah mewarnai dunia perteateran Kota Pekalongan ini membuat saya dan beberapa mahasiswa yang mengenakan jas almamater berwarna biru cerah itu melongo. Sebab, apa yang selama ini menjadi “keyakinan” kami, menulis itu barang susah. Nggak gampang dilakukan. Dan, tidak sembarang orang bisa.
Tetapi, kelakar Mas Eko Tunas siang itu membuat kami merasakan keruntuhan dinding “keyakinan” kami yang terlalu tebal dan tinggi. Dinding “keyakinan” itu terpukul betul, hingga nyaris rata dengan tanah tanpa sisa.
Sebegitu mudahnya Mas Eko Tunas menyampaikan itu. Seolah tidak mempertimbangkan betapa telah bertahun-tahun kami berlatih menulis namun selalu gagal melahirkan tulisan yang bagus. Betapa entengnya, ia menganggap bahwa dinding “keyakinan” kami tak ada bahkan dianggap sebagai barang sampah.
Demi menghormati kesenioran sahabat karib dari Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) itu kami yang mendengar kelakar itu tertawa saja. Tentu, bisa dibayangkan seperti apa muka kami saat tertawa sambil setengah nyengir.
Lalu, setelah tawa itu sedikit mereda, Mas Eko Tunas kembali berkelakar. Kali ini kelakarnya lebih pedas lagi. Dia katakan, “Kalian itu mahasiswa, sampeyan juga seorang guru dari mahasiswa. Nah, lalu apa tujuan sampeyan-sampeyan semua belajar? Apa hanya cukup untuk menjadi pinter? Tidak. Pinter saja nggak cukup. Mesti naik pangkat dong, menjadi orang cerdas.”
Plak! Rasanya kata-kata itu menampar pipi saya keras-keras. Panas betul. Sampai-sampai gendang telinga saya terasa berdenging. Alamak! Blaik! Saya khawatir ini akan menjadi tanda-tanda yang mengarah kedunguan.
“Nah, apa ciri-ciri orang cerdas? Coba sebutkan!” pinta Mas Eko Tunas.
Salah seorang mahasiswa menjawab, “Orang yang cerdas itu ya yang punya ide dan pemikiran yang bermanfaat bagi orang banyak, Pak.”
“Kamu?” desak Mas Eko Tunas kepada mahasiswa lainnya.
“Orang cerdas itu yang kreatif dan inovatif, Pak!” jawab mahasiswa yang lain.
Atas jawaban itu, Mas Eko Tunas tertawa ngakak. Dia lantas berseloroh, “Sampeyan-sampeyan itu terlalu textbook. Terlalu kejauhan mikirnya. Kalian kenal yang namanya Rowan Atkinson? Ya, si Mr. Bean itu! Tahu kan?”
Kami mengangguk.
“Apa kesanmu tentang dia?” tanya Mas Eko Tunas lagi.
“Lucu, Pak!” celatuk salah seorang mahasiswa.
“Lucu kan karena kamu melihatnya sebagai Mr. Bean, bukan sebagai Rowan Atkinson!” sergah Mas Eko Tunas. “Rowan Atkinson itu seorang sarjana jenius. Dia memiliki kecerdasan yang luas biasa. Tetapi, apa yang dilakukannya saat memerani Mr. Bean? Ia melucu. Tetapi, leluconnya itu lelucon yang cerdas. Nah, sekarang paham apa ciri orang cerdas?” tanya Mas Eko Tunas lagi.
Kami geleng kepala. Bingung mau menjawab. Takut salah.
“Nggak ada yang mau menjawab? Takut salah? Waduh duh, bagaimana kalian akan tahu apakah kalian itu cerdas atau tidak kalau kalian takut salah,” pancing Mas Eko Tunas.
“Oh, kalau begitu orang cerdas itu nggak takut salah, Pak!” seloroh salah seorang mahasiswa.
“Terus?” tanya Mas Eko Tunas.
“Berani bertanya dan berani menjawab, Pak,” kata mahasiswa lainnya.
“Oke, saya hargai pendapat kalian. Minimal, kalian sudah berani menyampaikan apa yang ada di dalam benak kalian. Itu bagus. Tetapi, bukan itu masalahnya. Ciri orang cerdas itu adalah ia mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit. Ingat, menyederhanakan bukan menggampangkan. Sangat berbeda antara sederhana dan gampang,” jelas Mas Eko Tunas. “Jelas?”
Kami kembali terbius oleh kata-kata yang meluncur dari suami Mbak Happy Astuti yang mantan penyiar Radio Imelda itu. Mas Eko Tunas senyam-senyum saja melihat kedunguan kami.
“Wah, rupanya kalian masih bingung juga? Oke tidak masalah. Biar saya jelaskan. Begini, kalian sudah begitu banyak mempelajari ilmu pengetahuan. Mengenyam definisi-definisi dan berbagai macam pemahaman. Tetapi, segala yang kalian pelajari itu sesungguhnya hanya sarana. Karena sebagai sarana, kalian mestinya menempatkan pengetahuan itu sebagai alat untuk menemukan cara-cara kalian sendiri di dalam melakukan sesuatu. Termasuk, menulis. Maka dari itu, saya bilang bahwa syarat utama untuk menjadi seorang penulis adalah ia tidak buta huruf. Ini serius! Coba kalau buta huruf, apa kalian akan mengenal tulisan dan bisa merangkai huruf-huruf itu menjadi kata yang bisa dibunyikan dan dimaknai?” terang Mas Eko Tunas.
Kami semua tercenung.
“Nah, makanya apa saja yang sudah kalian pelajari dengan berbagai kerumitan itu sederhanakan. Itulah kecerdasan. Dan, dalam rumus menulis yang saya kerjakan, saya cukup dengan menuliskan kata pertama, selanjutnya biarkan Tuhan yang menuntunmu menggerakkan dan mendayakan pikiranmu untuk menyusun kata-kata yang lain,” jelasnya.
Seketika, mulut kami merupa huruf O yang bulat benar.
“Ya, menulis itu seperti ibadah. Menulis itu bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Percaya?” tanya aktor gaek yang jago monolog itu.
Kami mengangguk ragu.
“Baguslah kalau tidak percaya, artinya kalian masih bisa mendayakan pikiran kalian. Tinggal satu hal yang mesti kalian tempuh saat ini, yaitu mengalami. Maka, menulislah agar kalian mengalami peristiwa menulis sebagai bagian dari caramu memahami dirimu, kehidupanmu, dan juga alam semesta. Dan satu hal, yang kalian butuhkan saat ini hanya keberanian,” pungkasnya.
Editor : Ribut Achwandi