Kisah Ramayana telah ditulis dalam banyak versi. Salah satunya dalam versi Jawa Kuno. Namun, seperti diakui oleh guru besar filologi kebangsaan Belanda, Prof. Dr. Willem van Der Mollen, versi Jawa Kuno merupakan versi yang sangat spektakuler.
Tidak hanya karena perbedaan isi ceritanya, versi Jawa Kuno dikatakannya lebih kompleks dibandingkan versi India. “Dari bentuknya, kemunculan tokoh-tokoh yang khas Jawa, bahasa yang digunakan, serta hal-hal lain yang tidak terdapat dalam versi India muncul di sini,” ungkapnya.
Salah satu kreasi baru dalam versi Jawa Kuno adalah kemunculan tokoh Trijata. Dikisahkan, dalam naskah Ramayana versi Jawa Kuno yang ditulis pada kisaran Abad ke-9 atau pada era Kerajaan Mataram Kuno, Trijata adalah seorang perempuan yang mendapat mandat dari raja Alengkapura, Rahwana, untuk menjaga Shinta saat masih tinggal di dalam lingkungan istana Alengka, atau tepatnya di Taman Argasoka.
Trijata sendiri sesungguhnya masih merupakan bagian dari keluarga besar kerajaan Alengka. “Dia masih keponakan dari Rahwana. Dia adalah putri dari Wibisana, adik dari Rahwana,” jelas Willem.
Trijata adalah putri sulung Wibisana dari hasil perkawinannya dengan Dewi Triwati. Parasnya cantik, santun perilakunya, dan baik budi. Ia juga memiliki kesaktian yang diturunkan dari sang ayah. Selain itu, ia juga memiliki watak yang tak jauh dari sang ayah. Ia tidak begitu suka dengan perilaku Rahwana.
Bahkan, dalam berkali-kali kesempatan, saat Rahwana berusaha merayu Shinta agar mau menikah dengannya, Trijata selalu membela Shinta dengan berbagai cara. Hingga, Rahwana selalu kalah. Namun, Rahwana rupanya tak kehilangan akal. Ia mainkan tipuannya di hadapan Shinta dengan mengabarkan bahwa Rama dan Laksmana telah mati. Ia bawakan pula dua kepala yang mirip dengan Rama dan Laksmana.
Namun, berkat kesaktiannya, Trijata mampu mengungkap kasus itu. Tipuan Rahwana tak juga membuahkan hasil. Selepas itu, Trijata berupaya menemui Rama dan Laksmana secara diam-diam. Ia kabarkan kasus penipuan itu. Semula, Rama dan Laksmana merasa geram dengan kabar itu. Tetapi, keduanya merasa tenang karena Shinta dijaga oleh seorang yang setia.
Pada saat bersamaan, Trijata bertemu sang ayah yang telah menjadi bagian dari pihak Rama. Ia lantas sungkem pada ayahnya, lalu segera memohon diri dan kembali ke Taman Argasoka, menunaikan kembali tugasnya, menjaga Shinta.
Peran Trijata dalam naskah Ramayana versi Jawa Kuno, menurut Willem menunjukkan sebuah kecanggihan tersendiri. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh versi India.
“Bahkan, setelah Shinta dibebaskan dari cengkeraman Rahwana, Trijata menjadi semacam pembela atau pengacaranya Shinta, saat Shinta hendak diusir oleh suaminya, Rama,” terang ahli filologi Jawa ini.
Tampilnya Trijata, menurut Willem menunjukkan sebuah kemajuan budaya Jawa pada masa itu yang tidak ada di India. Tampilnya perempuan di wilayah publik memungkinkan dua hal. Pertama, ini menandakan bahwa di masa lalu orang Jawa sudah mengenal betul peran perempuan atau yang dikenal sebagai emansipasi wanitua. Kedua, hal tersebut mungkin pula menjadi persoalan yang memang sedang ramai dibincangkan pada masa itu.
“Apakah dengan tampilnya tokoh perempuan di wilayah publik justru menunjukkan ada semacam masalah di dalam kebudayaan Jawa. Ini masih perlu diteliti lagi,” pungkasnya.
Editor : Ribut Achwandi