get app
inews
Aa Read Next : Presiden Soekarno Susun Naskah Pidato "Indonesia Menggugat" di Penjara Banceuy

Serat Wulangreh Ajarkan Kita untuk Belajar kepada Orang Miskin

Selasa, 03 Mei 2022 | 04:16 WIB
header img
Ilustrasi: Bung Karno bersama Ibu Fat tengah berdialog dan beramah tamah dengan petani di Yogyakarta sekitar tahun 1946.

Lumrahnya, orang belajar tentang kesuksesan kepada orang yang pastinya sudah sukses. Begitu pula dalam urusan karir, seseorang yang hendak mencapai posisi penting dalam pekerjaannya akan menimba pengalaman dari orang yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Tetapi, bagaimana jika dibalik? Belajar kesuksesan dari orang yang jauh dari sukses. Belajar menjadi kaya kepada orang yang miskin.

Tentu, sebagian banyak orang akan menggelengkan kepala sambil menggumam, “Mana mungkin?”. Tetapi, dalam ajaran yang pernah ditulis oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Keraton Surakarta (1788-1820), hal itu bahkan dianjurkan. Lewat karyanya, Serat Wulangreh, Sri Susuhunan Pakubuwana IV menuliskan:

Nadyan asor wijilipun
Yèn kalakuané becik
Utawa sugih carita
Carita kang dadi misil
Iku pantes raketana
Darapin mundhak kang budi

(Serat Wulangreh, pupuh Kinanthi pada 4)

Meski keturunan rakyat jelata
Kalaulah kelakuannya baik
Atau kaya akan cerita
Cerita yang menjadi pelajaran
Itulah yang pantas didekati
Untuk memperbaiki budi pekerti

Jelaslah, lewat tembang macapat Kinanthi itu, Sri Susuhunan Pakubuwana IV hendak menyampaikan dua hal sekaligus. Pertama, pantang bagi setiap orang memandang rendah orang lain hanya karena kedudukan dan kekayaannya. Derajat manusia tidak ditentukan oleh pangkat, jabatan, apalagi kekayaan yang dimiliki. Kehormatan seseorang terletak pada budi pekertinya yang ditunjukkan lewat perilaku sehari-hari dan tutur katanya yang bisa dijadikan teladan.

Kedua, kepada orang yang kedudukannya rendah jangan sungkan-sungkan untuk belajar. Hakikat belajar bukan pada apa yang tampak secara materiil, melainkan pada hal-hal yang sifatnya sangat halus. Yaitu, budi pekertinya. Siapa tahu, dengan cara itu ia akan menemukan hakikat hidup yang sesungguhnya. Untuk alasan apa ia hidup dan untuk tujuan apa ia hidup di dunia ini.

Seperti dikisahkan dalam biografinya, Bung Karno (Presiden pertama RI), di depan Cindy Adams (penulis buku biografi Bung Karno) mengaku kalau ia banyak belajar kepada orang-orang yang kehidupannya tak beruntung. Ia tak sungkan-sungkan bergaul dengan petani, buruh, dan nelayan. Saat bercengkerama dengan mereka, Bung Karno selalu mendapatkan pelajaran baru, sampai-sampai ia tuangkan pelajaran yang dipetiknya itu ke dalam apa yang ia sebut sebagai Marhaenisme.

Seperti yang ditulisnya, nama Marhaenisme tidak seperti isme-isme lain yang cenderung diambil dari nama pencetusnya. Sebaliknya, nama itu ia dapat dari sosok petani yang secara kebetulan ia temui saat berjalan-jalan di Cigereleng. Pada saat itu, terjadilah obrolan ringan antara Bung Karno dengan petani yang kemudian ia ketahui namanya Marhaen. Kisah itu juga dicatat oleh John D. Legge dalam bukunya Sukarno A Political Biography.

Dan, dari pertemuan itulah Soekarno lantas menemukan gagasan tentang sistem kekuasaan yang ia sebut sebagai sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi. Buah pikiran itu lantas ia namai Marhaenisme.

Editor : Ribut Achwandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut