get app
inews
Aa Text
Read Next : Pakai Seragam SMA, Cara KPPS di TPS 002 Ngampel Wetan Tingkatkan Partisipasi Pemilih

Populasi Janda Usia Muda Membludak, Ini Dia Penyebabnya!

Rabu, 11 Mei 2022 | 13:23 WIB
header img
Ilustrasi (sumber: okezone.com)

PEKALONGAN, iNewsKasus perceraian di Indonesia kembali melonjak. Dalam laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Disebutkan dalam laporan tersebut, kalangan istri lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat, yakni perkara yang gugatannya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan. Sementara itu, sebanyak 110.440 kasus atau 24,66% perceraian terjadi karena cerai talak, yakni perkara yang permohonannya diajukan oleh pihak suami yang telah diputus oleh Pengadilan. Berdasarkan provinsi, kasus perceraian tertinggi pada 2021 berada di Jawa Barat, yakni sebanyak 98.088 kasus. Diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 88.235 kasus dan 75.509 kasus.

Sebagai perbandingan, data pada Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi menunjukkan, pada tahun 2020 terdapat kurang lebih 150 kasus perceraian pasangan muda dari total 1.285 kasus perceraian di Kabupaten Bekasi. Pasangan muda yang bercerai rata-rata berusia 19-25 tahun, dengan umur pernikahan yang kurang dari 5 tahun. Pemicunya, masalah ekonomi, masalah perselingkuhan dan KDRT.

Sementara di Bojonegoro, kasus perceraian pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 2,85 persen dibanding tahun 2019. Pada tahun 2019 kasus penceraian mencapai 2.872, sedangkan pada tahun 2020 meningkat menjadi 2.888. Ketua Panitera, Pengadilan Agama Kabupaten Bojonegoro, Sholikin Jamik mengatakan, kasus perceraian ini mayoritas didominasi oleh kalangan usia muda. Bahkan dari total kasus perceraian selama 2020, 81 persen berasal dari pasangan usia muda di bawah usia 30 tahun dan selebihnya di atas umur 30 tahun.

Angka perceraian di dua Kabupaten itu menunjukkan benang merah yang kuat bahwa angka perceraian di usia muda semakin meningkat. Lantas, mengapa bisa terjadi? Rizki Nuansa Hadyan, S.Psi, MM, Psikolog selaku Wakil Ketua HIMPSI (Himpunan Psikologi) Eks-Karesidenan Pekalongan mengungkapkan, upaya penyingkapan kasus tersebut perlu dilandasi dengan mengetahui karakter psikologi generasi milenial. Istilah generasi milenial atau sering dikenal sebagai generasi Y disebut dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa buku mereka.

Berdasarkan penjelasan di situs kominfo.go.id, generasi milenial merupakan kelompok manusia yang lahir antara tahun 1980-1990 atau awal tahun 2000 dan seterusnya.  Kelompok ini identik dengan generasi muda yang menguasai teknologi. “Mereka tumbuh besar saat teknologi sedang berkembang. Mereka bahkan cenderung sulit dipisahkan dari perangkat teknologi. Hal ini dapat dilihat pada keseharian gen Y ini yang cenderung sulit berpisah dengan smartphone miliknya,” ungkap Coach Kiki, sapaan akrabnya.

Penguasaannya terhadap teknologi, membuat generasi ini lebih cepat menyerap informasi. Menurut, psikolog yang kerap mengisi berbagai macam pelatihan ini, generasi milenial seharusnya dapat juga terbentuk menjadi generasi cepat, bukan generasi instan. Mereka harus tetap menjalani proses untuk mencapai kesuksesan. “Sebagian orang melupakan bahwa toge itu cepat tumbuh, tetapi tidak kokoh. Berbeda dengan beringin yang menancapkan akarnya terlebih dahulu sehingga lebih kuat menahan tantangan,” katanya.

Karakteristik menginginkan dan melakukan sesuatu dengan serba cepat merupakan salah satu karakter terkuat dan tak terhindarkan dari generasi ini. Karakteristik serba instan bisa menjadi positif. Asalkan, generasi milenial tidak melupakan aspek proses dan kerja keras yang harus dilalui jika ingin mendapatkan pencapaian terbaik. Perlu dipahami, kecepatan adalah kekuatan, namun ketergesa-gesaan adalah kesia-siaan.

Dengan karakteristik tersebut, generasi milenial cenderung mengambil cara-cara instan dan cepat di dalam proses penyelesaian masalahnya. Mereka tidak cukup bersabar untuk melalui sebuah proses penyelesaian masalah. Pilihan logis bagi generasi milenial ketika menghadapi suatu masalah adalah fight or flight. “Padahal, di dunia pernikahan yang mereka lihat indahnya dari sinetron, medsos dan drakor ternyata tidak seindah dunia pernikahan yang mereka alami. Bagaimana konflik kecil menjadi besar dengan cepatnya, kisruhnya masalah perekonomian keluarga yang belum mapan, mudahnya mereka mengalami kelelahan mental sebagai hasil konsekuensi dari perilaku generasi X orang tuanya yang menjadikan mereka seperti itu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Coach Kiki memberi contoh, apabila anak di generasi X kena hukuman dari gurunya bahkan hukuman fisik, mereka enggan atau takut menceritakan masalah atau kejadian pada orang tuanya, kerena mereka tahu konsekuensinya malah akan menjadi bumerang buat mereka seperti orang tua ikut menyalahkan, ikut memarahi atau bahkan memberikan hukuman tambahan pada mereka. Tetapi kalau ini terjadi pada anak-anak generasi milenial yang mengalami hukuman fisik dari gurunya, apa yang terjadi, anak berani menceritakan kejadiannya pada orang tuanya dan reaksi orang tuanya bisa jadi membela membabi buta atas kesalahan yang dilakukan anaknya.

Perilaku seperti itu membuat anak-anak generasi milenial seringkali berkelit dari kewajiban untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya sendiri. Hal inilah yang menjadikan ketika memasuki dunia pernikahan, mereka tidak paham dan tidak tahu kesalahan apa yang membuat mereka terlibat suatu konflik rumah tangga.

Psikolog QQNuansa Consultant ini juga menegaskan, faktor utama dalam memasuki dunia pernikahan adalah komitmen. Ciri dari belum adanya komitmen dalam suatu pernikahan adalah banyaknya pasangan yang belum memiliki misi jelas dalam pernikahannya. Bisa saja pasangan berangkat dari mindset yang kurang tepat bahwa pernikahan cukup bermodalkan cinta.

“Aspek-aspek lain seperti misi pernikahan, komunikasi, komitmen, keuangan juga spiritual kurang dipersiapkan dan dikelola. Faktor psikologis berikutnya adalah stabilitas emosi yang belum matang juga rentan mengalami konflik. Masing-masing akan mempertahankan " dunia aku" bukan "dunia kita". Akan memicu  pertengkaran yang berkelanjutan juga perceraian. Dan yang terakhir, kurang siap mental dalam mengasuh anak,” paparnya.

Kekurangsiapan mental untuk menjalankan peran baru sebagai ayah bunda membuat level stress lebih tinggi, yang jika tidak dikelola maka akan mengantarkan pada manusia yang rentan dengan masalah kejiwaan.

Editor : Ribut Achwandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut