get app
inews
Aa Text
Read Next : Pemabuk Tembak Kerumunan Anak di Warung Kopi, Satu Terluka

Serat Wedhatama: Jiwa Manusia Tercermin dari Ucapannya

Kamis, 26 Mei 2022 | 12:11 WIB
header img
Ilustrasi

Ajaran Jawa—khususnya yang dituliskan dalam karya-karya sastra—condong pada olah rasa. Tak salah pula sebutan ngelmu rasa dilekatkan pada ngelmu Jawa. Rasa—dalam ajaran Jawa—tidak sama maknanya dengan istilah “rasa” dalam bahasa Indonesia. Seperti ditulis Irfan Afifi, rasa bagi orang Jawa kerap dimaknai sebagai dimensi terdalam pada diri manusia di dalam menangkap “Kebenaran”. Rasa, tidak hanya soal bagaimana merasakan, melainkan pula bagaimana menjadi manusia seutuhnya.

Karya sastra Jawa klasik yang mengajarkan olah rasa adalah Serat Wedhatama karya KGPH Mangkunegara IV. Serat ini tersusun dalam 100 pupuh (bait) yang terdiri atas 5 macapat, yaitu Pangkur (14 pupuh), Sinom (18 pupuh), Pucung (15 pupuh), Gambuh (35 pupuh), dan Kinanthi (18 pupuh).

Salah satu ajaran penting dari Serat Wedhatama adalah tentang pentingnya menjaga ucapan. Menurut Serat Wedhatama, ucapan adalah cerminan jiwa. Tentu, ucapan tidak hanya soal kata-kata yang digunakan, melainkan pula perihal apa yang menjadi pembicaraan, gaya pengucapan, serta aspek rasa. Ajaran itu tertuang dalam pupuh ke-8 Pangkur.

Socaning jiwangganira,
Jer katara lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor kudu unggul,
Semengah sesongaran,
Yen mangkono kena ingaranan katungkul,
Karem ing reh kaprawiran,
Nora enak iku kaki.

Dua baris yang mengawali pupuh tersebut mengajukan konsep kepribadian. Kedua baris itu boleh dibilang menjadi baris inti dari pupuh tersebut. Kata “soca” dapat diterjemahkan menjadi mata, kemurnian, dan sesuatu yang jernih/bersih. Dengan penambahan imbuhan -ning, kata “soca” hendak menunjukkan sesuatu yang berkenaan dengan jiwangga (jiwa dan raga), nira (engkau).

Dengan kata lain, baris pertama pupuh tersebut menjadi afirmasi bahwa jiwa raga seorang manusia dapat terlihat dengan jelas. Tetapi, apa yang bisa memperjelas? Jawabnya pada baris kedua, “jer katara lamun pocapan pasthi”. Yang artinya, tampak secara terang lewat tutur kata.

Sementara, baris-baris 3 dan 4 menunjukkan ciri-ciri. “lumuh asor kudu unggul / semengah sesongaran” (tak mau kalah maunya menang sendiri / sombong dan berbangga diri”. Oleh baris ke-5, dua baris itu kemudian diasumsikan bahwa ciri-ciri atau perbuatan yang disebutkan sebelumnya sebagai keterlenaan, “yen mangkono kena ingaranan katungkul” (demikian itu yang dinamakan sifat terlena). Sedang baris ke-6 “karem ing reh kaprawiran” (berpuas diri berlagak tinggi), menjadi penjelas baris ke-5. Dan, baris ke-7 merangkum seluruh baris dalam pupuh tersebut menjadi “nora enak iku kaki” (Itu perbuatan yang tidak mengenakkan).

Urutan tersebut, apabila ditarik benang merah akan memperlihatkan, pupuh ini tak hanya menegaskan fungsi ucapan sebagai cerminan diri yang sebenarnya. Akan tetapi, ada hal yang jauh lebih urgen, yaitu persoalan rasa. Cara, gaya, dan perihal yang diungkap dalam tuturan kata memiliki dampak besar pula pada rasa yang direpresentasikan ke dalam kata “enak”.

Dengan kata “enak”, pupuh tersebut juga mempersoalkan dampak tutur kata di wilayah rasa. Setiap tuturan punya pengaruh besar terhadap rasa. Baik itu rasa di dalam diri penutur, maupun rasa yang dialami lawan bicara. Apabila ucapan itu buruk, maka buruk pula rasa yang dialami dri sendiri maupun orang-orang yang diajak bicara. Rasa tidak enak ini pula yang pada akhirnya akan merusak hubungan pertemanan maupun merusak citra diri.

Meski demikian, pupuh tersebut tak menyebutkan secara vulgar tentang jalan keluar untuk melepaskan diri dari jerat keterlenaan. Pupuh ini hanya menyebutkan ciri-ciri ucapan yang tidak baik serta watak manusia yang buruk. Dengan cara demikian, tampak pula bahwa tembang macapat tersebut memberi kebebasan pembacanya untuk memilih sikap. Tembang tersebut bahkan jauh dari kata paksaan. Malah sebaliknya, dengan gaya yang halus, pupuh tersebut memberikan pengajaran yang jauh dari sifat dan sikap sok ngajari (berlagak menjadi guru). Dengan kata lain, pengajaran yang dilakukan dalam Serat Wedhatama ini mengedepankan rasa rendah hati.

Editor : Ribut Achwandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut