“Di tempat tersebut kamu dapat melakukan ibadah dengan tekun dan khusyuk serta terhindar dari gangguan kaummu. Bilamana kamu sudah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, serta memohon pemeliharaan-Nya, maka Dia tentu akan mencurahkan rahmat-Nya kepadamu. Kamu tidak akan mati kelaparan atau kehausan dalam gua itu."
"Allah SWT akan memberi jalan keluar kepadamu dalam mengatasi kesukaran makan dan minum ataupun lainnya. Allah akan melapangkan jalan beribadah dengan sempurna kepada-Nya sehingga kamu bisa merasakan kelezatan ibadah yang melebihi kelezatan lainnya.”
Demikian isi percakapan mereka. Apa yang mereka ucapkan itu lahir dari keyakinan dan harapan mereka akan anugerah Allah dan berkat kepasrahan dan keimanan mereka yang sempurna kepada-Nya.
Allah SWT telah menggerakkan hati para pemuda itu untuk menjadi orang-orang yang saleh, penghuni gua. Kisah mereka akhirnya selalu dikenang dalam sejarah umat beragama.
Demikian sifat para pemuda itu, selamanya hati mereka lebih suci dan lebih cinta kepada kebenaran, yaitu sifat yang amat baik yang diperlukan bagi seseorang pemimpin.
Ibnu ‘Abbas berkata:
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيََّا إِلاَّ وَهُوَ شَابٌّ وَمَا أُعْطِى عِلْمٌ لِعَالِمٍ إِلاَّ وَهُوَ شَابٌّ
Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali dia seorang pemuda, dan tiada diberikan ilmu kepada seorang alim, kecuali dia pemuda. Kemudian beliau membaca potongan ayat-ayat tersebut sebagai berikut:
قَالُوْا سَمِعْنَا فَتًى يَّذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهٗٓ اِبْرٰهِيْمُ
Mereka (yang lain) berkata, ”Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim.” ( al-Anbiya’/21 : 60)
Dan firman Allah swt:
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya. (al-Kahf/18: 60);
Dan firman Allah WT:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًىۖ
Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. ( al-Kahf /18: 13)
Ayat ini menunjukkan ketabahan hidup para pemuda Ashhabul Kahfi ketika menyepi di dalam gua karena menyembunyikan agamanya. Imam al-Gazali, dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, menolak menggunakan ayat ini untuk dijadikan dalil bagi keutamaan hidup uzlah.
Beliau berkata, “Ashhabul Kahfi tidak mengasingkan diri mereka sendiri antara satu dengan yang lain. Mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman. Mereka mengasingkan diri dari orang-orang kafir.”
Jadi wajarlah kalau mereka beruzlah agar terpelihara dari penyiksaan orang-orang kafir dan raja yang hendak membunuh mereka. Hidup Uzlah Hidup menyepi dalam arti mengasingkan diri dari kejahatan dan kebatilan yang tidak dapat diperbaiki atau mereka tidak sanggup memperbaikinya, maka uzlah semacam ini dibenarkan.
As-Suyuti dalam kitabnya Al-Iklil berpendapat bahwa dari ayat ini dapat dipahami bahwa uzlah, mengasingkan diri, lari dari kezaliman, dan tinggal dalam gua disyariatkan ketika situasi beragama tidak kondusif atau rusak.
Pendapat beliau ini perlu penjelasan karena masih kabur. Zaman manakah yang bersih dari kerusakan? Sebenarnya yang dapat dipahami dari ayat ini ialah para pemuda itu mengasingkan diri karena adanya pemerkosaan terhadap hak hidup beragama.
Hidup uzlah karena frustasi dan keputusasaan dalam menghadapi kenyataan hidup tidak dibenarkan oleh agama. Untuk memahami ayat ini, harus diperhatikan suasana di kala terjadinya peristiwa uzlah-nya pemuda itu.
Mereka menyepi dengan melarikan diri ke dalam gua karena akan dibunuh oleh raja yang sewenang-wenang. Suasana saat itu juga tidak mendukung untuk berjuang melawan kesewenang-wenangan raja, dan memperlihatkan keimanan mereka.
Di masa permulaan Islam, Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya berhijrah ke negeri Habsyah, kemudian ke Madinah, dan beliau sendiri lalu juga hijrah ke sana disebabkan oleh keganasan kaum musyrikin Quraisy, sedang kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa menghadapinya, karena masih lemah.
Bahkan, bagi Nabi SAW khususnya, mereka telah bersiap untuk membunuh-nya. Mereka mengepung rumah Nabi di malam hari untuk melaksanakan rencana pembunuhan itu. Oleh karena kaum musyrikin telah mengadakan persekongkolan untuk membunuh Nabi, maka Allah memerintahkan agar Nabi hijrah.
Atas dasar perintah itulah, Nabi hijrah. Jadi, bukan karena lari dari medan peperangan, menyendiri atau uzlah, dan sebagainya.
Hidup uzlah dalam arti mengasingkan diri dari kemewahan hidup dan perbudakan harta dan hawa nafsu, lalu hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana yang diperlihatkan sahabat Nabi Abu Dzar Al-Ghifari , tidak tercela, bahkan dibenarkan oleh agama Islam. I
bnu Katsir berkata, “Abu Dzar berpendapat bahwa tidaklah patut seorang muslim memiliki harta melebihi dari persediaan makanannya sehari semalam, atau dari sesuatu yang dipergunakannya untuk berperang, atau dari suatu yang disediakan untuk tamu.
Beliau berpegang kepada ayat:
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. ( QS at-Taubah /9: 34)
Abu Dzar hidup dalam kesederhanaan karena tidak mau terlibat dalam kehidupan mewah yang mulai merebak pada zaman khalifah Usman bin Affan. Demikian contoh kehidupan uzlah yang terdapat di kalangan sahabat Rasulullah SAW.
Editor : Hadi Widodo