Penelusuran istilah batik yang dilakukan Romo Manu dengan memanfaatkan kekayaan naskah Jawa Kuna membuat kajian tentang batik menemukan sisi keunikan tersendiri. Setelah menguraikan kajian teks Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja, Romo Manu menelusur kembali leksikografi asal-usul istilah batik dalam berbagai teks lain.
Penelusuran KRT Manu J Widyaseputra juga menemukan kosakata lain yang dapat dijadikan dasar pendefinisian istilah batik. Yaitu, sphaṭika. Kata ini memiliki dua makna, yaitu madu dan permata putih. Dalam temuannya menyebutkan, sumber-sumber teks Jawa Kuna juga menerangkan bahan yang digunakan untuk membatik, yaitu madu. Sementara alat yang digunakan untuk membatik disebut pula permata.
“Maka tidak mengherankan jika kita melihat sumber-sumber teks Jawa juga, yang dipakai untuk membatik itu madu sebetulnya. Kemudian untuk meratakan madu digunakan permata. Jadi, sebelum memakai canting digunakanlah permata,” kata Manu.
Secara kosmologi, kata sphaṭika dapat pula dijadikan acuan untuk melacak sarana yang digunakan untuk melukis. Yaitu, madu dan permata. “Madu menjadi lilin malam, sementara permata akan menjadi canting. Maka, canting itu ujungnya runcing. Karena dulu, permata yang digunakan untuk melukis itu ujungnya juga runcing,” jelas Manu.
Dalam perkembangannya, kata sphaṭika pada masa Majapahit mengalami perubahan bunyi. Yaitu, menjadi pasṭika. Kata ini berlaku di kalangan masyarakat luar Keraton, khususnya kalangan brahmana. “Kata sphaṭika diucapkan menjadi pasṭika. Artinya masih sama madu dan permata. Kalau kita berjalan ke arah barat, melacak di barat, di lingkungan brahmana di Mataram abad ke-15, kata pasṭika berubah menjadi vaṭika. Artinya madu dan permata/intan,” ungkapnya.
Perubahan bunyi bahasa tersebut terus berlanjut hingga pada masa Mataram Islam. Dalam studi linguistik, terdapat perubahan bunyi bahasa yang amat kentara. “Di daerah Mataram, di dalam dunia linguistik antara p dan b sering tertukar. Kalau di daerah yang agak ke timur masih dengan p. Kalau kita ke barat akan menjadi berat, p kalau berat menjadi b. Lalu, menjadi batika,” ungkap Romo Manu.
Kata “batika” inilah yang kemudian berubah bunyi menjadi batik. “Orang jawa dulu menganggap batik bukan berasal dari batika. Tetapi bunyi a di belakang dianggap sebagai akhiran
lalu a tersebut biasanya ditanggalkan. Kalau dia tidak menjadi arialis maka ditanggalkan, lalu jadilah batik,” terang Manu.
Sementara, pada abad ke-16, ketika Sultan Agung berkuasa di tanah Mataram, kata “batik” kali pertama muncul dalam teks sastra. Kata tersebut ditemukan dalam Babad Sengkala. “Di sana kita menemukan kata batik untuk pertama kali masuk ke dalam teks sastra. Sebelumnya, tidak pernah ada,” ungkap Manu.
Pada masa itu, peralatan, sarana, dan bahan untuk membatik diubah. Yang sebelumnya digunakan sphaṭika yaitu berupa intan permata yang diruncingkan kemudian diubah bentuknya dengan dilubangi. Sehingga, pada permata tersebut memiliki bagian nyamplung (penampung malam) dan cucuk (ujung canting yang runcing). Sejak itu pula dikenalkan nama canting.
“Kalau kita membaca Babad Sengkala, canting itu dulunya permata juga. Di zaman Sultan Agung canting masih berbahan permata. Putri-putri dulu kalau membatik ya pakai permata. Menjadi bukan permata lagi tapi dengan tembaga itu pada masa yang jauh lebih muda lagi. Dan kemudian, apa yang tadinya permata, dimasukkan madu untuk menulis. Sebelumnya, permata dicelupkan ke dalam madu lalu digunakan untuk menulis. Lalu, pada masa Sultan Agung permata ini dilubangi dan madu itu diisikan ke dalam permata dan digunakan untuk menggambar. Gambar-gambar yang dihasilkan dari madu dan permata itu yang disebut batik,” terang Manu.
Editor : Ribut Achwandi