NASHR bin Hajjaj adalah sosok laki-laki yang tampan dan disukai banyak perempuan. Dia hidup di Madinah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Sebagaimana dikisahkan dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’ karya Abu Nu’aim al-Asfahani, bahwa suatu ketika Umar bin Khattab sedang berkeliling Madinah dan dia melewati sebuah rumah, dari dalam rumah tersebut terdengar seorang perempuan bersya’ir;
هل من سبيل إلى الخمر فاشربها # أم هل سبيل إلى نصر بن حجاج
Adakah jalan memperoleh khamr untuk kutenggak # ataukah jalan bertemu dengan Nashr bin Hajjaj.
أنظر إلى السحر يجري في نواظره # وانظر إلى دعج في طرفه الساجي
Lihatlah sihir yang mengalir pada tatapan-tatapannya # dan lihatlah mata hitamnya yang berkedip tenang
وانظر إلى شعرات فوق عارضه # كأنهن نمال دب في عاجي
Dan lihatlah rambut di atas wajahnya # bagaikan semut yang mengisi gading-gading indah
Mendengar hal itu, Umar lalu berkata, “Demi Allah, selama aku masih hidup itu tidak boleh terjadi.” Hingga akhirnya, pada pagi harinya Umar mengutus orang untuk menemui orang yang bernama Nashr bin Hajjaj.
Setelah utusan Umar bertemu dengan Nashr, Nashr pun dibawa untuk bertemu dengan Umar bin Khattab. Umar yang yang bertemu pertama kali dengannya, memandangnya dan benar bahwa Nashr adalah sosok pemuda yang menakjubkan. Ketampanannya mempesona dan rambutnya indah seperti sya’ir yang diucapkan oleh seorang perempuan pada malam itu.
Umar akhirnya menyuruh untuk menggunduli Nashr, namun setelah digunduli justru Nashr semakin tampan. Hingga akhirnya Nashr pun diminta untuk keluar dari Madinah. Karena banyak perempuan yang tergila-gila terhadap Nashr, Nashr bin Hajjaj akhirnya disuruh pergi ke Bashrah, dan tinggal bersama Misyja’ bin Mas’ud.
Misyja’ sendiri mempunyai istri yang cantik dan masih muda. Hingga suatu ketika Misyja’ duduk, dan disampingnya ada Nashr bin Hajjaj. Tiba-tiba Nashr bin Hajjaj menuliskan sesuatu di tanah, “Demi Allah, aku mencintaimu.” Kemudian perempuan yang merupakan istri Misyja’ itu berkata dari ujung rumah, “ Demi Allah, aku juga.”
Misyja’ lalu bertanya kepada sang istri, “Apa yang dikatakan Nashr kepadamu?” dia menjawab, “Alangkah bersihnya benih kalian.” Misyja’ kembali bertanya, “Alangkah bersihnya benih kalian? Aku tidak paham.”
Misyja’ kembali berkata, “Aku memintamu dengan sungguh-sungguh, beritahukan kepadaku.” Lalu sang istri berkata, “Jika kamu benar-benar ingin tahu, laki-laki ini berkata, “alangkah indahnya perabotan rumah kalian.”
Misyja’ kembali berkata, “Apakah bagusnya perabotan rumah kalian? Demi Allah, aku kurang paham.” Kemudian Misyja’ lalu menunduk, dan menemukan sebuah tulisan. Karena Misyja’ tidak bisa membaca, dia lalu berkata, “Panggilkanlah orang perpustakaan.” Ketika orang dari perpustakaan datang, Misyja’ kemudian berkata, “bacalah tulisan ini.”
Orang dari perpustakaan lalu membacanya, dan berkata, “Demi Allah, aku juga mencintaimu.” Misyja’ lalu berkata, “Demi Allah, sekarang aku paham.” Kemudian dia berkata kepada istrinya, “Sekarang jalanilah iddah!” Dia juga berkata kepada Nashr, “Nikahilah dia jika kamu mau, wahai anak saudaraku.”
Setelah itu, Misyja’ menemui Abu Musa dan menceritakan kejadian tersebut. Abu Musa al-Asy’ari pun berkata, “Aku bersumpah Demi Allah, Amirul Mukminin tidak menyuruhmu (Nashr) keluar dari suatu kebaikan. Sekarang pergilah dari sini.”
Akhirnya dengan perasaan malu, Nashr memutuskan meninggalkan rumah keluarga tersebut. Dia hidup sendirian di sebuah gubuk kecil dan terpencil. Namun perasaan cintanya pada istri Misyja’ tak mampu dihapus. Dia pun menderita karenanya, hidup merana karena cinta. Cinta kepada seseorang yang tidak bisa dimiliki karena sang perempuan sudah memiliki pasangan.
Nashr pun akhirnya pergi lagi ke Persia, yang saat itu dipimpin oleh Utsman bin Abu Ash-Tsaqafi. Saat di Persia dia bertemu dengan seorang perempuan bangsawan, lalu perempuan itu menyukainya dan mengirimkan utusan untuk menemuinya.
Ketika berita itu sampai di Utsman bin Ash, Utsman pun menyuruh utusan untuk menemui Nashr dan berkata, “Amirul Mukminin dan Abu Musa tidak menyuruhmu keluar dengan meninggalkan kebaikan. Sekarang pergilah dari sini.” Ternyata di Persia, Nashr pun masih digandrungi banyak wanita.
Nashr pun berkata, “Demi Allah, seandainya kalian melakukan hal ini. Aku akan bergabung dengan umat yang musyrik.” Utsman lalu menulis surat kepada Abu Musa, lalu Abu Musa menulis surat kepada Umar, dan Umar menulis balasan surat yang isinya, “Acak-acaklah rambutnya, buatlah pakaiannya compang-camping dan paksa dia tinggal di masjid.”
Hingga akhirnya Nashr pun tinggal di masjid, tidak boleh keluar kemana-mana karena bisa membuat banyak perempuan tergila-gila. Bahkan perempuan yang tergila-gila kepadanya sampai tidak bisa tidur, tidak mau makan hingga membahayakan diri mereka. Nashr pun akhirnya tinggal di masjid sampai dia meninggal.
Dari kisah Nashr bin Hajjaj di atas, menunjukkan bahwa laki-laki pun bisa menjadi sebab penggoda. Dan jika cinta tumbuh di ladang yang salah, tentu akan melahirkan sebuah derita.
Sebab cinta antara pria dan wanita, hanya akan menemukan kekuatannya dengan adanya pertemuan. Semakin sering sentuhan fisiknya, makin kuat jiwa dan dua cinta saling tersambung. Ketika sentuhan fisik menjadi mustahil, maka cinta akan berpotensi menjadi penyakit. Itulah sebabnya sebaik-baiknya cinta antara pria dan wanita adalah dengan menyatunya hati dan jasad dalam pernikahan.
Dan Sebaik-baiknya Cinta yang berbalas adalah Cinta kepada Nabi kita Muhammad.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait