KUDUS, iNewsPantura.id -- Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara dalam APBN dan APBD memberikan dampak signifikan terhadap sektor perhotelan, khususnya hotel berbintang. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kudus, Muhammad Kirom, mengungkapkan bahwa kebijakan ini menyebabkan penurunan pendapatan hotel, terutama dari kegiatan Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) yang biasanya berasal dari pemerintah.
"Efisiensi anggaran berdampak pada sektor jasa akomodasi, terutama hotel berbintang di Kudus. Berkurangnya penyelenggaraan acara pemerintah di hotel menyebabkan penurunan pemasukan," ujar Kirom.
Ia menambahkan, berdasarkan komunikasi dengan sejumlah pengelola hotel, pendapatan mereka turun sekitar 30 persen akibat kebijakan ini. Namun, dampaknya di Kudus tidak sebesar di kota-kota besar seperti Semarang atau Jakarta, karena bisnis perhotelan di Kudus masih didominasi oleh tamu menginap dari sektor industri dan wisatawan.
"Di kota besar, pendapatan hotel banyak bergantung pada event MICE. Namun, di Kudus, masih ada tamu dari sektor industri dan wisata, sehingga penurunannya tidak terlalu drastis," jelasnya.
Meski menghadapi tantangan, PHRI Kudus terus mencari solusi agar industri perhotelan tetap bertahan. Salah satu langkah yang diambil adalah menawarkan alternatif bisnis, seperti penyewaan dapur kepada restoran yang membutuhkan fasilitas masak berskala besar, layanan katering, serta pengembangan paket wisata berbasis hotel.
"Beberapa hotel sudah mulai menyewakan dapur mereka kepada restoran dan usaha jasa boga lainnya. Ini menjadi solusi untuk mengoptimalkan fasilitas yang ada," kata Kirom.
Selain itu, hotel-hotel di Kudus juga mulai menerapkan konsep hybrid event, yakni menggabungkan pertemuan offline dan online. Langkah ini diharapkan dapat tetap menarik pasar dari sektor bisnis dan pemerintahan yang kini lebih banyak beralih ke sistem daring.
Terkait kebijakan efisiensi anggaran, Kirom berharap pemerintah pusat mempertimbangkan kelonggaran bagi industri perhotelan, mengingat sektor ini masih dalam tahap pemulihan pascapandemi.
"Kami berharap ada peninjauan kembali terhadap kebijakan ini. Efisiensi anggaran memang penting, tetapi perlu ada keseimbangan agar industri perhotelan tetap bisa bertahan," ungkapnya.
Di tingkat nasional, PHRI telah mengajukan audiensi dengan pemerintah pusat untuk menyampaikan dampak kebijakan ini terhadap industri perhotelan. Sementara itu, di tingkat daerah, PHRI Kudus terus berkoordinasi dengan pemangku kebijakan guna mencari solusi terbaik bagi sektor jasa akomodasi di wilayah ini.
"Efisiensi anggaran memang diperlukan, tetapi sektor pariwisata, termasuk perhotelan, juga harus mendapatkan perhatian. Kami akan terus berupaya menjaga kelangsungan industri ini melalui berbagai inovasi," pungkas Kirom.
Editor : Suryo Sukarno
Artikel Terkait