Menanggapi penentuan awal bulan Ramadan dengan metode yang berbeda, ulama kharismatik KH Ahmad Bahauddin atau akrab disapa Gus Baha mengatakan baik hisab atau rukyat merupakan dua metode penentuan awal Ramadan yang ada di dalam Alquran. Namun yang ia sayangkan, masyarakat masih memperdebatkan keduanya.
"Kita terkadang menurut pada hukum, tapi tidak pada ilmu. Juga sebaliknya, mengikuti ilmu tapi tidak patut pada hukum," jelas Gus Baha, dikutip dari tayangan di kanal YouTube Hikmah Ulama, Kamis (31/3/2022).
Gus Baha juga menyayangkan perbedaan penentuan awal Ramadan itu masih diperdebatkan. Juga perlu diketahui, metode hisab maupun rukyat hilal dibahas di dalam Ianatut Tholibin Syarah Fathul Mu'in.
"Saya tuh menyesal betul kalau perisbatan 1 Ramadan, yang satu percaya rukyat, satu lagi percaya hisab. Nah, sebenarnya enggak begitu. Di Ianatut Tholibin Syarah Fathul Mu'in itu biasa," ujarnya.
Gus Baha juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam biasanya menggunakan rukyat hilal saat menentukan 1 Ramadan. Akan tetapi bagi yang menggunakan metode hisab juga tidak dipermasalahkan. Sekali lagi ia menegaskan, keduanya dijelaskan dalam Alquran.
Diketahui sebelumnya Kementerian Agama menggelar Sidang Isbat (Penetapan) Awal Ramadan 1443 Hijriyah, di Auditorium HM Rasjidi Kantor Kementerian Agama Jakarta, Jumat (1/4/2022). Sidang yang diikuti oleh perwakilan ormas Islam, perwakilan duta besar negara sahabat, serta jajaran Kemenag ini diawali dengan Seminar Posisi Hilal yang disampaikan pakar astronomi yang juga anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kemenag, Profesor H. Thomas Djamaluddin.
Dalam paparannya, Thomas Djamaluddin mengungkapkan, secara astronomis, posisi hilal di Indonesia pada saat Maghrib 1 April 2022 masih berada di bawah kriteria baru MABIMS yang ditetapkan pada 2021, sehingga kemungkinan tidak dapat teramati.
"Di Indonesia, posisi hilal awal Ramadan 1443 H terlalu rendah sehingga hilal yang sangat tipis tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (senja), sehingga kemungkinan tidak terlihat," ujar Thomas.
Kriteria baru MABIMS menetapkan bahwa secara astronomis, hilal dapat teramati jika bulan memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat. Sementara menurut Thomas Djamaluddin, pada saat Maghrib 1 April 2022, posisi bulan di Indonesia tingginya kurang dari 2 derajat dan elongasinya sekitar 3 derajat.
"Hilal kemungkinan tidak teramati. Kalau ada yang mengklaim melihat hilal, dimungkinkan itu bukan hilal. Secara astronomi klaim itu bisa ditolak," ungkap Peneliti BRIN ini.
Maka, lanjut Thomas, jika data tersebut dikaitkan dengan potensi rukyatul hilal, secara astronomis atau hisab, dimungkinkan awal bulan Ramadan jatuh pada 3 April 2022.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa Kemenag telah menetapkan 101 lokasi titik rukyatul hilal di seluruh Indonesia. Rukyatul hilal tersebut akan dilaksanakan oleh Kanwil Kemenag dan Kemenag Kabupaten/Kota, bekerja sama dengan peradilan agama dan ormas Islam serta instansi lain di daerah setempat.
Wallahu a'lam bishawab.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait