PURWOREJO , iNewsPantura.id – Peringatan Hari Tani Nasional 24 September justru menjadi momen ironis bagi ratusan petani di Kecamatan Bayan Utara, Purworejo. Sudah 15 tahun lamanya saluran irigasi Kragilan tidak mengalir, membuat lahan pertanian di enam desa – Sambeng, Jrakah, Bringin, Bayan, Pucangagung, dan Pekutan – tak bisa digarap optimal.
Akibatnya, petani harus mengeluarkan biaya besar hanya untuk mengolah sawah. Ada yang rela membuat sumur bor dengan biaya tinggi, ada pula yang membiarkan lahannya terbengkalai. “Mau diolah, tidak untung. Dibiarkan, hati tidak tenang. Hidup segar, mati tak mau,” ungkap salah satu petani dengan nada getir.
Kondisi ini memicu aksi kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil dan mahasiswa Purworejo. Mereka menggelar demo di sekitar saluran irigasi Kragilan, Desa Sambeng, dengan membentangkan spanduk berisi sindiran keras. Tulisan seperti “15 Tahun Ora Mili Cuk”, “Ora Butuh Janji, Butuh Banyu Mili”, hingga “Saluran Ada, Air Mana?” menjadi simbol perlawanan atas ketidakpedulian pihak terkait.
Muhaimin, petani Sambeng, berharap pemerintah segera turun tangan. “Kami sudah terlalu lama menunggu. Tolong realisasikan saluran air ini, agar petani bisa hidup layak,” pintanya. Hal senada disampaikan Tukimin, yang mengaku harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menyedot air sumur. “Modal besar, hasil tidak sebanding. Petani jadi korban,” keluhnya.
Hari Tani yang seharusnya menjadi ajang apresiasi terhadap pejuang pangan, justru dirayakan dengan kepedihan. “Pemerintah sering bicara ketahanan pangan, tapi di bawah petani masih berjuang sendirian tanpa air,” ucap salah satu peserta aksi.
Kini, warga menanti langkah nyata pemerintah daerah maupun pusat. Sebab tanpa irigasi, jargon ketahanan pangan hanyalah slogan.
Editor : Suryo Sukarno
Artikel Terkait