YOGYAKARTA, iNewsPantura.id – Mekanisme mediasi sebagai jalur damai penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai belum berjalan efektif. Fakta ini terungkap dalam disertasi Dr. Ana Riana, S.H., M.H., CTL., CM., dosen Ilmu Hukum Universitas Proklamasi 45 Sleman, yang baru saja meraih gelar doktor bidang hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam sidang promosi doktor yang digelar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Selasa (5/11), Dr. Ana mempertahankan disertasinya berjudul “Disharmoni Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediasi antara Pekerja dengan Pemberi Kerja (Studi Kasus Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY)”.
Melalui penelitian empiris di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, ia menemukan adanya ketidakharmonisan dan ketimpangan sistemik dalam proses mediasi hubungan industrial. Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan posisi antara pekerja dan pengusaha, serta minimnya kewenangan mediator dalam mengambil keputusan.
“Mediasi sering kali hanya menjadi formalitas karena mediator tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk memberikan solusi solutif. Akibatnya, banyak anjuran yang tidak ditindaklanjuti dan akhirnya berakhir di pengadilan,” ujarnya usai sidang terbuka.
Data penelitiannya mencatat, sepanjang 2020–2023 terdapat 787 perkara hubungan industrial di DIY, dengan tingkat keberhasilan mediasi sebesar 66,58 persen, sedangkan 33,42 persen gagal mencapai perdamaian. Meski angka keberhasilannya cukup tinggi, ia menilai proses mediasi masih belum optimal.
“Efektif memang, tapi belum optimal. Ada satu kabupaten yang bisa mencapai 90,5 persen penyelesaian damai. Artinya, jika pola mediasi diperkuat—baik formal maupun non-formal—hasilnya bisa jauh lebih baik,” jelasnya.
Sebagai rekomendasi utama disertasinya, Dr. Ana mengusulkan pembentukan Komisi Keadilan Ketenagakerjaan, sebuah lembaga independen non-litigasi yang fokus menangani penyelesaian sengketa ketenagakerjaan secara profesional.
“Mediator saat ini berada di bawah Disnaker, dan efektivitasnya masih terbatas. Karena itu, perlu lembaga khusus di luar birokrasi yang berperan secara lebih independen dan terintegrasi,” paparnya.
Komisi tersebut, lanjutnya, dapat berfungsi sebagai entitas quasi-judicial yang memiliki kewenangan hukum untuk memastikan hasil mediasi mengikat para pihak. Ia mencontohkan model Fair Work Commission di Australia, yang terbukti efektif dalam meningkatkan rasio keberhasilan mediasi ketenagakerjaan.
“Dengan adanya Komisi ini, penyelesaian ketenagakerjaan bisa lebih efisien, adil, dan berorientasi pada perdamaian. Indikator keberhasilannya adalah meningkatnya kasus yang selesai damai dibanding yang masuk ke pengadilan,” tambahnya.
Menariknya, Dr. Ana memilih DIY sebagai lokasi riset karena kompleksitas hubungan kerja di provinsi tersebut tergolong tinggi, meski bukan kawasan industri besar.
“DIY hanya punya lima kabupaten/kota, tapi pada 2023 jumlah perkara yang masuk ke pengadilan mencapai 80 kasus. Padahal di Jawa Tengah yang kabupatennya banyak, jumlahnya hanya sekitar 100. Ini menunjukkan dinamika ketenagakerjaan di Yogyakarta sangat tinggi,” ungkapnya.
Kasus-kasus yang muncul di DIY tidak hanya berasal dari sektor manufaktur, tetapi juga pendidikan dan perhotelan, menunjukkan luasnya spektrum hubungan kerja yang berpotensi memicu konflik.
Sidang promosi doktor yang berlangsung khidmat itu menegaskan komitmen akademisi hukum untuk menghadirkan solusi konkret bagi dunia ketenagakerjaan Indonesia. Dr. Ana Riana dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Editor : Suryo Sukarno
Artikel Terkait
