JAKARTA - Imbas dari kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan CPO para pejabat India mengungkapkan, hal itu akan menyebabkan kelangkaan minyak sayur di negara tersebut. Diketahui sebanyak 290.000 ton minyak nabati yang seharusnya dikirim ke di India jadi terhambat.
Dikutip Reuters dan BBC, adanya gangguan tu terjadi setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor produk minyak sawit, termasuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), minyak sawit merah atau red palm oil (RPO), palm oil mill effluent (POME), serta refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein, dan minyak jelantah (used cooking oil).
Diketahui, Indonesia memproduksi sekitar 60 persen minyak sawit dunia, dengan sepertiganya dikonsumsi oleh pasar domestik.
AFP menyebut India, China, Uni Eropa dan Pakistan termasuk di antara pelanggan utama minyak sawit Indonesia.
"Kapal kami yang membawa 16.000 ton minyak tertahan di pelabuhan Kumai di Indonesia," kata Direktur Pelaksana Gemini Edibles & Fats India Pvt Ltd, Pradeep Chowdhry yang membeli sekitar 30.000 ton minyak kelapa sawit Indonesia setiap bulan.
"Kami tidak tahu kapan Indonesia akan mencabut larangan itu dan pengiriman yang terhambat bisa dilanjutkan lagi," tambahnya.
Apalagi India adalah importir minyak sawit terbesar di dunia dan mengandalkan sekitar 700.000 ton minyak dari Indonesia setiap bulan.
Tak hanya India, pelaku bisnis minyak sawit dari Pakistan sebelumnya berharap Indonesia meninjau ulang soal kebijakan ekspornya itu.
"Sudah saatnya Indonesia mengurangi penggunaan minyak sawit untuk biodiesel dan menghapus larangan. Jika Indonesia melanjutkan larangan tersebut, maka kami akan meminta pemerintah Pakistan untuk berbicara dengan Pemerintah Indonesia untuk memulihkan pasokan," ucap Ketua Asosiasi Penyulingan Minyak Nabati Pakistan (PEORA) Rasheed JanMohd.
Kini, New Delhi mengandalkan minyak sawit setelah pasokan minyak bunga matahari dari eksportir utama, Ukraina, dihentikan karena invasi Rusia.
Sehingga minyak kelapa sawit sempat diperdagangkan dengan diskon yang besar dibandingkan dengan minyak kedelai dan minyak bunga matahari pada awal bulan ini. Hal itu mendorong India meningkatkan pembelian minyak sawit untuk kebutuhan pada Mei, kata seseorang dari salah satu perusahaan perdagangan global yang berbasis di Mumbai.
"Jumlah itu sekarang tertahan karena keputusan yang mengejutkan dari Indonesia," ucapnya.
Lalu, dampak ini juga dirasakan oleh Malaysia, yang tengah berjuang untuk memenuhi jumlah permintaan yang lebih tinggi. Untuk pengiriman cepat, Malaysia meminta harga mendekati rekor tertinggi.
Kemudian, para pembeli minyak sawit bergegas memesan dan membeli minyak dari Malaysia, tapi Malaysia belum bisa memenuhi permintaan, kata Sandeep Bajoria, CEO Sunvin Group, sebuah perusahaan pialang dan konsultan minyak nabati.
Untuk di Malaysia wajib memenuhi komitmen lama mereka dan tidak dapat menyediakan minyak sawit untuk pengiriman cepat, katanya.
Di mana pengiriman minyak sawit menyumbang hampir 60% dari seluruh pengiriman minyak nabati dunia.
Untuk minyak sawit bisa digunakan dalam segala hal, seperti memasak, produksi kosmetik, sampai pembuatan produk-produk pembersih. Indonesia, sebagai produsen utama, menyumbang sekitar sepertiga dari semua ekspor minyak nabati.
Sebagai informasi, negara-negara kawasan Laut Hitam menyumbang 60% produksi minyak bunga matahari dunia dan 76% ekspor minyak bunga matahari, sedangkan Indonesia dan Malaysia menyumbang sebagian besar pengiriman minyak sawit global. Argentina, Brasil, dan Amerika Serikat adalah pemasok utama minyak kedelai.
"Akan ada kekurangan di pasar. Tidak ada cara untuk meningkatkan pasokan," kata Direktur Pelaksana G.G. Patel & Nikhil Research Company, ovindbhai Patel.
Menurutnya, India masuk musim pesta pernikahan dan festival yang berarti persediaan terbatas di tengah permintaan yang kuat, bisa mendongkrak harga minyak pada bulan depan.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait