Maria Dermoût, Sastrawan Belanda Terkemuka Kelahiran Pekalongan

Ribut Achwandi
Foto kenangan Maria Dermoût saat di Hindia Belanda (sumber foto: goodreads via idwriters)

Tahun 1888, seorang sastrawan perempuan berkebangsaan Belanda lahir di Pekalongan. Tepatnya, pada tanggal 15 Juni. Laman ensklopedia britanica.com menyebutnya sebagai novelis cum cerpenis Belanda. Berkat ketekunannya menulis novel dan cerita pendek, ia dikenal sebagai tokoh sastra Belanda dan sastra Hindia Belanda terkemuka. Nama lengkap sastrawan perempuan itu adalah Helena Anthonia Maria Elisabeth Dermoût-Ingerman. Namun, orang-orang Eropa kerap menyebut namanya sebagai Maria Dermoût.

Sumber lain mengungkapkan, Maria Dermoût dilahirkan di sebuah daerah industri perkebunan gula. Ia juga menghabiskan masa kanak-kanaknya di sana bersama sang ayah yang seorang pegawai di Perusahaan Hindia Belanda. Namun, pada usia sekolah, ia menempuh pendidikannya di Belanda. Baru setelah dewasa, ia kembali ke Hindia Belanda, menggunakan waktunya bersama suaminya untuk berkeliling Jawa, Sulawesi, dan Maluku.

Setelah 30 tahun berkeliling, ia juga mulai menulis. Tetapi, tulisan-tulisannya tidak pernah diterbitkan, hingga ia memasuki masa senja atau pada usia ke 60 tahun, ia mulai menerbitkan sebuah memoar Nog pas gisteren (Only Yesterday, 1951). Sementara, novelnya yang kedua, De tienduizend dingen (The Ten Thousand Things) terbit empat tahun berikutnya. Novel kedua inilah yang oleh majalah Time (1958) dinobatkan sebagai novel terbaik.

Lewat karya-karyanya, Dermoût menyuarakan konflik identitas yang diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Gaya tuturnya membaurkan antara karakter Eropa dan Jawa yang begitu kental. Terutama, tentang bagaimana orang Jawa memandang kehidupan. Ia sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah tradisional Jawa yang mistis, memadukan antara yang nyata dan khayal, yang hidup dan tak hidup, masa lalu dan masa kini. Selain itu, ia juga banyak meminjam konsep pemikiran Tao dalam karya-karyanya.

Karibnya ia dengan khazanah kisah orang-orang Timur tidak lain karena pergaulannya. Ia sering memanfaatkan waktunya bercengkerama dengan orang-orang pribumi dan orang-orang Timur lainnya, seperti Arab dan Tionghoa. Menyimak kisah-kisah mereka dan menjadikannya sebagai inspirasi dalam karya-karyanya.

Meski begitu, tidak lantas membuat Dermoût dipandang sebagai seorang Belanda yang Indonesianis. Ada dua pandangan yang berbeda dari dua pakar sastra Eropa tentang Dermoût. Rob Nieuwenhuys, dalam bukunya Mirror of The Indies (1990) menganggap Dermoût sebagai sastrawan Hindia Belanda. Sebab, apa yang dimunculkan lewat novel-novelnya, Dermoût secara tak langsung menampilkan pribadinya sebagai bagian dari Hindia Belanda, bukan sebagai orang Belanda.

Sedang, melalui “Maria Dermout and Unremembering Lost Time” (2013), Paul Doolan menyatakan Dermoût sebagai penulis Belanda. Menurut Doolan, pandangan Dermoût dalam karya-karyanya memperlihatkan karakter khas orang Belanda. Dermoût merupakan wakil dari suara kekuasaan kolonial.

Apa pun itu, Maria tak pernah mengira jika karya-karyanya akan menjadi begitu penting bagi perkembangan sastra Belanda dan sastra dunia. Sampai ia menghembuskan napasnya yang terkahir, pada usianya yang ke 74 tahun di Noordwijk, 27 Juni 1962, buku-bukunya masih saja dicetak ulang dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Bahkan, laris di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network