Hari Kamis Legi, 7 September 1944 yang juga bertepatan dengan hari ke 20 bulan Ramadan 1363 H, Sidang Istimewa Teikoku Henkai ke-85 digelar di Tokyo. Dalam kesempatan itu, Perdana Menteri Jepang Jenderal Kuniaki Koiso menyampaikan pidatonya yang monumental. Isinya, janji Kekaisaran Jepang yang akan memberikan kemerdekaan penuh kepada Indonesia. Janji itu kemudian dikenal sebagai Janji Koiso.
Alih-alih berniat baik kepada rakyat Indonesia, janji itu sebenarnya tak diberikan secara cuma-cuma. Jepang punya maksud terselubung di balik janji manis itu. Tak lain, agar rakyat Indonesia ringan tangan memberikan bantuan kepada Jepang dalam menghadapi perang melawan Sekutu.
Kabar itu segera sampai ke telinga tokoh-tokoh penting di wilayah Karesidenan Pekalongan. Selang empat hari kemudian, rakyat Pekalongan menggelar Rapat Umum di Alun-alun Pekalongan.
Ribuan orang memadati Alun-alun Pekalongan, kala itu. Mereka begitu hikmad mengikuti upacara pengibaran bendera Kokki (Kanpo Istimewa) yang diikuti bendera Merah Putih. Selepas itu, di atas panggung Shuchokan (Residen) Tokonami Tokuji dengan lantang menyuarakan sebuah pengumuman penting. Yaitu, tentang niat Jepang yang akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia.
Niat itu pun disambut baik oleh rakyat yang berkumpul dalam Rapat Umum itu. Kromo Lawi, yang mewakili rakyat Indonesia, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Jepang atas niat baik itu di atas panggung. Tentu, hal itu menjadi kegembiraan tersendiri bagi Jepang. Sehingga, kumandang lagu Indonesia Raya yang mengakhiri Rapat Umum itu tak dipersoalkan.
Dalam suasana gembira itu, sejumlah tokoh dan ulama Pekalongan segera mengambil langkah. Mereka berkumpul dan membuat kesepakatan untuk membentuk Panitia Hari Besar Islam. Tujuannya, untuk menyelenggarakan kegiatan besar dalam menyambut janji kemerdekaan itu. Rencananya, kegiatan tersebut akan dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal 1363 H yang bertepatan dengan dengan tanggal 18 September 1944.
Dalam laporan koran Sinar Baroe, Semarang yang terbit pada Jumat, 22 September 1944, kegiatan penyambutan janji kemerdekaan itu terekam dengan baik. Di tempa terik matahari, di bawah pimpinan Soewarso dan Kromo Lawi, tampak orang-orang dengan gegap gempita berpawai menuju sebuah tugu peringatan. Pawai itu diikuti pula oleh Kumiai Ajacho (lembaga ekonomi & koperasi), Kumicho , penduduk Arab, Penduduk Tionghoa dan Peranakan. Masing-masing membawa bendera Jepang dan bendera Merah Putih.
Hingga petang, pawai itu lantas menghentikan aktivitas mereka. Berduyun-duyun mereka lantas menuju Masjid Jami Pekalongan untuk melaksanakan salat Maghrib berjemaah. Baru setelah usai melaksanakan salat, 30 ribu orang yang turut dalam pawai itu kembali menggelar Rapat Umum.
Rapat itu diawali acara doa bersama yang dipimpin K.H.Syafi’i. Dilanjutkan serangkaian pidato. Mulai dari Shuchokan Tokonami, H.M.Ilyas, Djohar Arifin, dan Daidancho PETA H. Iskandar Idries. Puncak acara diisi dengan lagu Indonesia Raya dan ditutup dengan doa kemenangan oleh K.H.Siroj.
Disarikan dari “Pekalongan Shu Pada Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945” karya Tubagus Lutfi jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (hal 137 -139).
"Generasi yang mengabaikan sejarah tidak memiliki masa lalu dan masa depan." -Robert Heinlein-
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait