Tradisi menyantap ketupat dan opor ayam saat Lebaran sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu sejak zaman Sunan Kalijaga, saat memimpin Kerajaan Demak, namun apa saja filosofi kedua hidangan tersebut?
Sunan Kalijaga menggunakan budaya dan tradisi lokal untuk mengenalkan agama Islam agar mudah diterima, termasuk kuliner lokal, yaitu ketupat dan opor ayam. Tentu saja, Sunana Kalijaga menggunakan pendekatan budaya dalam berdakwah karena dia memahami betul makna kuliner ketupat dan opor ayam salam budaya Jawa.
Dirangkum dari berbagai sumber, ketupat dalam tradisi dan budaya Jawa, sarat makna. Ketupat tak hanya sekadar olahan beras berbungkus daun kelapa muda, tapi juga memiliki makna mendalam. Setiap unsur dari ketupat memiliki filosofi.
Pertama, daun kelapa muda atau janur. Dalam bahasa Jawa, janur merupakan akronim dari 'Janna Nur' yang berarti cahaya surga. Akronim lain dari janur yaitu 'Jatining Nur' yang artinya hati nurani.
Kedua, proses pembuatan ketupat yang harus dianyam juga memiliki makna. Anyaman ketupat yang rumit menggambarkan keragaman masyarakat Jawa yang harus dieratkan dengan silaturahmi.
Ketiga, beras sebagai isian ketupat juga memiliki filosofi nafsu duniawi. Keempat, ketupat yang berbentuk belah ketupat ini memiliki filosofi kuat bagi masyarakat di Jawa. Bentuk ketupat ini dilambangkan sebagai perwujudan kiblat papat limo pancer. Ini melambangkan keseimbangan alam dalam empat arah mata angin utama, timur, selatan, barat, dan utara. Meskipun memiliki empat arah, namun hanya ada satu kiblat atau pusat.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait