PEKALONGAN, iNews - Sebagai sebuah seni kolektif, Batik Pekalongan tidak mungkin diproduksi secara individual. Proses produksi Batik Pekalongan yang rumit, membutuhkan banyak tenaga. Lahirlah kemudian, jenis-jenis pekerjaan di dunia perbatikan ini. Salah satunya, tukang babar.
Seperti dituturkan Ahmad Ilyas, penulis buku Batik Pekalongan, jenis-jenis pekerjaan dalam produksi batik meliputi pengrajin, pengobeng atau pekerja, pedagang, dan tukang babar. “Posisi tukang babar ini unik, karena ia berada di antara buruh dan pengusaha,” ujar Ahmad Ilyas dalam sebuah tayangan film dokumenter Kisah Semangkuk Tauto yang diunggah belum lama ini, di kanal Youtube, Budaya Pekalongan Kota.
Kedudukan tukang babar yang demikian, menunjukkan fenomena menarik bertautan dengan masalah sosial-ekonomi. Khususnya lagi, dalam tata niaga perbatikan di Kota Pekalongan. Alih-alih bertahan dari gempuran industrialisasi batik yang mulai masif pada pertengahan abad ke-18, keberadaan tukang babar boleh dibilang pula sebagai cara untuk menutupi kelemahan mereka dalam memenagi persaingan dagang batik.
“Pekerjaan sebagai tukang babar semula bukanlah pilihan. Tetapi, sebuah keterpaksaan. Mereka memiliki keterampilan untuk memproduksi batik, namun tidak memiliki kecakapan yang cukup dalam menjual produk mereka. Maka, mereka menyerahkan sepenuhnya proses perdagangan itu kepada para pengusaha yang jelas-jelas memiliki pasar,” ungkap pemerhati budaya Kota Pekalongan itu.
Lalu, apa yang membuat mereka tidak cukup cakap memasarkan produk? Lelaki yang sehari-harinya disapa dengan Pak Amak—dalam tayangan berdurasi 19 menitan itu—mengungkapkan, mekanisme pasar yang tercipta tidak memungkinkan mereka dapat menjual langsung produk mereka. “Namun, mereka ini memiliki keuntungan di balik kedudukan mereka yang demikian. Yaitu, mereka tak perlu memikirkan bagaimana mereka harus menjual produk mereka,” ungkapnya.
Hanya, ada konsekuensi yang mesti mereka tanggung. Yaitu, masalah buruh dan dampak lingkungan. Tidak lain, karena pekerjaan mereka berhubungan langsung dengan proses produksi. Seperti diurai Ahmad Ilyas, dalam proses produksi itu melibatkan banyak tenaga kerja, mulai dari proses awal, pewarnaan, dan proses akhir.
Umumnya, para buruh yang bekerja kepada para tukang babar ini bekerja berdasarkan permintaan. Diawali dari permintaan pengusaha yang ingin membuat produk batik dalam skala massal, lantas para tukang babar ini mencari tenaga kerja sesuai yang dibutuhkan dalam proses produksi batik yang dipesan pengusaha. Dari sinilah, seorang tukang babar mempertaruhkan kemampuannya dalam mengelola kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan. Ia mesti mampu mendistribusikan pengerjaan proses produksi batik itu dengan mempertimbangkan pula jenis-jenis pekerjaan yang diperlukan. Apalagi dalam proses produksi batik terdapat beragam jenis pekerjaan. Ada tukang sungging, tukang mopok, tukang colet, kuli keceh, dan lain-lain.
“Jadi, di sini terjadi apa yang dinamakan sub-kontrak antara buruh dengan tukang babar. Para pekerja ini tidak langsung bekerja kepada pengusaha. Akan tetapi, mereka hanya menjual jasa atas keterampilan mereka kepada tukang babar. Makanya, mereka itu diupah oleh tukang babar. Upahnya ya tidak seberapa memang,” tutur lelaki berkacamata tebal itu.
Kendati demikian, Ahmad Ilyas melihat, kemunculan jenis pekerjaan dalam industri batik yang beragam ini telah melahirkan ekosistem industri batik yang baik. Setidaknya, membuka kesempatan bekerja bagi orang-orang di lingkungan sekitar tukang babar. Bahkan, ekosistem tersebut memberi kemudahan bagi para pengusaha dari luar Kota Pekalongan untuk turut serta memproduksi batik.
Hanya memang, sebagaimana diakui Pak Amak, secara hitungan ekonomi, marjin keuntungan yang didapat tukang babar tidak terlalu banyak. Akibatnya, upah yang diberikan kepada buruh-buruhnya pun tak terlalu besar. Belum lagi ketika mereka harus dihadapkan pula dengan dampak lingkungan yang diakibatkan buangan limbah dari rumah produksi mereka.
Seperti diketahui, dalam menjalankan seluruh proses itu, mereka juga menggunakan bahan-bahan yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan setelah sisa-sisa bahan itu tak terpakai dan dibuang. Seperti yang terlihat, sejumlah kawasan sumber air terbuka di Kota Pekalongan ini warnanya sudah tak lagi jernih. Bahkan, kata Ahmad Ilyas, sudah seperti pelangi.
Sayangnya, dalam menyikapi dampak lingkungan tersebut, kata Ahmad Ilyas, agaknya belum terjadi pembiayaan yang cukup dari pengusaha untuk mengatasinya. “Marjin keuntungan yang mereka dapatkan tak cukup untuk memaintenance masalah lingkungan,” ungkapnya.
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait