PEKALONGAN - Bagi para ilmuwan maupun akademisi, ilmu pengetahuan itu terus berkembang. Teori-teori yang dihasilkan dari sebuah penelitian bisa dibantah, disempurnakan, ataupun tak terpakai lagi. Itu terjadi karena ada penelitian-penelitian baru yang memungkinkan penemuan-penemuan baru pula. Wajar pula jika kemudian terjadi perdebatan keilmuan yang boleh jadi mempertentangkan pansabgan-pandangan teoretis di antara para ilmuwan maupun akademisi.
Lewat perdebatan keilmuan, sebuah penelitian—meski sudah diterbitkan menjadi sebuah buku—mungkin sekali diragukan atau bahkan terbantahkan. Ini pula yang terjadi pada sebuah penelitian tentang hubungan alam dengan kesehatan mental. Dalam penelitian tersebut disebutkan, alam bisa membantu manusia memulihkan dan menjaga kesehatan mental. Pandangan itu sempat diungkap oleh dua buku, yaitu Your Brain on Nature dan The Nature Fix.
Kedua buku tersebut mengungkapkan, aktivitas seseorang di alam bebas akan dapat membantunya menjaga dan memulihkan kesehatannya. Tidak terkecuali, kesehatan mental yang banyak mengalami tekanan akibat rutinitas sehari-hari yang ekstra. Selintas, tidak ada yang keliru dengan pandangan itu. Akan tetapi, baru-baru ini, sejumlah ilmuwan mulai meragukan pandangan itu. Apa sebabnya?
Tim peneliti dari University of Vermont dengan terang-terang meragukan penelitian yang dilakukan selama 10 tahun, yaitu antara tahun 2010 hingga 2020 tersebut. Pandangan skeptis itu termaktub dalam sebuah laporan penelitian yang dilakukan tim peneliti University of Vermont, Current Research in Environmental Sustainability. Dalam penelitian tersebut, Carlos Andres Gallegos-Riofrio, salah seorang dari tim peneliti University of Vermont, menyebutkan, penelitian tersebut tidak menyuguhkan analisis data yang utuh. Dimensinya pun masih terlalu berat sebelah. Penelitian yang digugat Carlos itu hanya melibatkan responden dari orang-orang kulit putih yang berada di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur.
"Lebih dari 95 persen studi dilakukan di wilayah-wilayah itu. Kurang dari 4 persen hanya dilakukan di India. Sama sekali tidak dilakukan penelitian di negara-negara dengan pendapatan rendah," tulis Carlos Andres Gallegos-Riofrio dalam penelitiannya.
Carlos juga mengungkapkan, penentuan objek penelitian semestinya dilakukan dengan mempertimbangkan keberagaman kondisi lingkungan dan masyarakat yang ada di dunia. Dengan begitu, akan didapat gambaran yang utuh untuk mendapatkan kondisi yang umum. Ia menengarai, objek penelitian memiliki potensi yang besar untuk mengungkap pentingnya isu lingkungan yang baik untuk masalah kesehatan. "Sayangnya mereka lebih fokus penelitian di wilayah WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic)," ujarnya.
Atas dasar itu pula, Carlos dan rekan sekerjanya dalam tim penelitiannya memberi beberapa saran untuk perbaikan penelitian tersebut. Dimulai dari penelitian kolaboratif yang melibatkan beragam komunitas, peserta yang lebih besar, pelacakan demografi yang lebih komprehensif, serta pengarusutamaan fokus penelitian yang mengarah ke wilayah selatan ekuator yang cenderung dihuni oleh negara-negara berpendapatan lebih rendah. Selain itu, mereka juga menyoroti pentingnya diversifikasi ilmu lingkungan, dengan dukungan yang lebih baik untuk mahasiswa dan fakultas dari berbagai latar belakang, dan kolaborasi yang lebih besar dengan komunitas yang beragam. “Kita membutuhkan semua budaya bekerja sama untuk mengatasi keadaan darurat global yang kita hadapi,” kata Amaya Carrasco, salah satu peneliti.
Editor : Ribut Achwandi