JAKARTA - Kebiasaan penambahan gelar H dan Hj di depan nama orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci memiliki nilai prestise tersendiri di mata masyarakat Indonesia.
Sejak kapan gelar haji di Indonesi mulai ada, Setiap orang yang pernah mengunjungi Ka’bah di Kota Makkah dengan niat menunaikan ibadah haji, secara otomatis di depan nama akan disematkan gelar haji untuk laki-laki dan gelar hajah untuk perempuan.
Menariknya, gelar tersebut hanya ada di Indonesia. Sementara di Arab Saudi maupun negara belahan dunia manapun, ketika seseorang pulang menunaikan ibadah haji tak ada yang menambahkan gelar tersebut.
Lantas, bagaimana sejarah gelar haji di Indonesia?
Sejarah Haji Di Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata haji bermakna rukun islam kelima (kewajiban ibadah) yang harus dilakukan oleh orang islam yang mampu dengan berziarah ke ka'bah pada bulan haji (dzulhijjah) dan mengerjakan amalan haji, seperti ihram, tawaf, sai, dan wukuf di padang arafah.
Secara bahasa, haji memiliki makna menziarahi atau mengunjungi. Oleh sebab itu, istilah ini digunakan untuk orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai menunaikan ibadah haji.
Bila ada seseorang pulang dari menunaikan ibadah haji, sebenarnya sematan haji baginya sudah tuntas sebab tidak lagi dalam proses berziarah.Hanya saja, di Indonesia gelar haji dan hajjah masih tetap melekat.
Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji mendapat gelar tambahan haji.
Meski begitu, sebagian orang memandang hal tersebut tidak baik, sebab bisa menimbulkan sikap riya’, pamer, sehingga bisa merusak nilai ibadahnya di hadapan Allah SWT.
Sebagian lainnya beralasan pemakaian gelar haji/hajjah untuk mengingat susahnya menempuh perjalanan pulang pergi dari Indonesia ke Kota Makkah.
Sehingga dipakailah gelar haji/hajjah sebagai tanda perjuangan untuk menunaikan ibadah.
Berdasarkan penjelasan Agus Sunyoto, Arkeolog Islam Nusantara menyatakan bahwa gelar haji mulai muncul sejak tahun 1916. Gelar haji sebenarnya merupakan pemberian Kolonial Belanda.
Pada zaman penjajahan Belanda, Belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pihak pemerintahan Belanda.
Belanda sangat khawatir akan menimbulkan rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi yang berujung menimbulkan pemberontakan.
Maka dari itu, segala jenis peribadatan sangat dibatasi termasuk ibadah haji.
Bahkan, Belanda sangat berhati-hati untuk ibadah haji lantaran pada saat itu mayoritas orang yang pergi menunaikan ibadah haji, saat pulang kembali ke tanah air akan melakukan perubahan.
Diketahui, pada zaman pendudukan Belanda, sudah banyak pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah haji, seperti Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak yang lainnya. Kepulangan mereka dari menunaikan ibadah haji banyak membawa perubahan untuk Indonesia ke arah yang lebih baik.
Tentu hal seperti ini merisaukan pihak Belanda. Sebagai upaya Belanda mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903 di mana Pemerintahan Kolonial Belanda pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Kayangan (Sekarang Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu (Sekarang termasuk wilayah DKI Jakarta) menjadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Di Pulau Onrust dan Pulau Kayangan (Sekarang Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu, orang-orang yang pulang dari menunaikan ibadah haji banyak yang dikarantina.
Setelah karantina usai akan dipulangkan ke kampung halamannya.
Oleh sebab itu, gelar haji menjadi sebagai cap yang memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi orang-orang yang dipulangkan ke kampung halamannya sehingga memudahkan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakkan.
Editor : Hadi Widodo