NIAT puasa qadha Ramadhan dan puasa Dzulhijjah dimulai sejak malam hari, dimana batasan waktu niat sampai sebelum masuk waktu subuh. Lantas bolehkah niat puasa qadha Ramadhan dan Puasa dzulhijjah digabung?
Dirangkum dari Rumaysho, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc menerangkan bahwa niat berarti al-qashdu atau keinginan. Niat puasa adalah keinginan untuk berpuasa. Letak niat di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazkan niat. Berarti niat di dalam hati saja sudah teranggap sahnya.
Ulama besar Muhammad Al Hishni berkata:
لاَ يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ لِلْخَبَرِ، وَمَحَلُّهَا القَلْبُ، وَلاَ يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِهَا بِلاَ خِلاَفٍ
"Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadis yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazkan." (lihat kitab Kifayah Al-Akhyar, halaman 248)
Hukumnya
Adapun terkait hukumnya, para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunah sebelum melunasi qadha puasa Ramadhan. Ulama-ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunah sebelum qadha puasa Ramadhan.
Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qadha puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin mengatakan, "Seandainya wajib qadha’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunah dari qadha’ puasa Ramadhan. Qadha’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya."
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc menjelaskan, ulama-ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunah dibanding qadha’ puasa. Sebab jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib demi mengerjakan yang sunah.
Ad-Dasuqi berkata, "Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qadha’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat."
Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk meng-qadha’ puasa tadi masih lapang.
Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qadha’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qadha’ puasa Ramadhan). Dalil dari mereka adalah hadis Abu Hurairah:
من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه
"Barang siapa yang melakukan puasa sunah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib." (Catatan penting: Hadis ini bersifat dho'if atau lemah)
Para ulama Hanabilah juga meng-qiyas-kan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain, padahal dia sendiri belum berhaji, atau dia melakukan haji yang sunah sebelum haji wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.
Editor : Hadi Widodo