Adapun Eropa bergantung energi kepada Rusia bukan menjadi masalah besar sampai Kremlin memutuskan untuk menyerang Ukraina pada bulan Februari lalu.
Sehingga, membuat hubungan komersial kedua pihak di ambang kehancuran.
Akhirnya, Eropa telah memulai kesepakatan jangka panjang untuk meningkatkan impor gas dari negara lain, tetapi langkah ini bukan solusi yang cukup untuk mengimbangi potensi kerugian jika menghentikan impor gas Rusia.
Bisa dilihat pada kasus Jerman, di mana 55% gas yang dikonsumsinya berasal dari Rusia.
Lalu, Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengatakan langkah-langkah yang belum pernah ditempuh sebelumnya untuk mengurangi ketergantungan serta melawan apa yang dia lihat sebagai pemerasan energi oleh Kremlin.
Di mana Jerman belum bisa menerima kapal LNG dari negara lain karena perlu membangun fasilitas untuk memprosesnya, sebuah rencana yang mungkin memakan waktu tiga hingga lima tahun, menurut perhitungan pemerintah.
Dia menyebut kalau terlepas dari kesulitan logistik dan mengingat keadaan yang mendesak.
Sehingga, Jerman mengambil kebijakan untuk menggunakan terminal LNG terapung, yang mampu menerima produk gas dari tempat-tempat yang jauh seperti AS atau Qatar.
Itu yang membawa Qatar memasuki meja perundingan dengan posisi yang baik saat perang Ukraina berlangsung.
Situasi ini terjadi tepat pada saat Qatar telah melakukan investasi secara signifikan untuk meningkatkan produksi dan infrastruktur gas.
"Tentu saja ada peluang untuk Qatar," ucap peneliti senior dan direktur program ekonomi dan energi di lembaga pemikir Middle East Institute Karen Young di Washington DC.
Editor : Hadi Widodo