JAKARTA – Hingga hari ini, kurs Rupiah sudah berada di level Rp14.985 per USD nyaris menembus Rp15.000 per USD.
Menanggapi hal ini, ekonom sekaligus Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pelemahan kurs dikhawatirkan memicu imported inflation atau kenaikan biaya impor terutama pangan.
"Sejauh ini imported inflation belum dirasakan karena produsen masih menahan harga di tingkat konsumen. Tapi ketika beban biaya impor sudah naik signifikan akibat selisih kurs maka imbasnya ke konsumen juga," ungkap Bhima kepada MNC Portal di Jakarta, Selasa(5/7/2022).
Dia mengatakan, beban utang luar negeri sektor swasta meningkat, karena pendapatan sebagian besar diperoleh dalam bentuk rupiah sementara bunga dan cicilan pokok berbentuk valas.
"Situasi currency missmatch akan mendorong swasta lakukan berbagai cara salah satunya efisiensi operasional. Tidak semua perusahaan swasta yang memiliki ULN lakukan hedging," terang Bhima.
Selain itu, pelemahan kurs rupiah mendorong percepatan kenaikan suku bunga acuan.
"BI perlu naikkan 25-50 bps suku bunga untuk tahan aliran modal keluar. Tapi, menaikkan suku bunga acuan berimbas kepada pelaku usaha korporasi, UMKM maupun konsumen. Cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal," pungkas Bhima.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait