Rumah di Seribu Ombak, Novel yang Menggugah Banyak Orang untuk Berbuat Baik

Ribut Achwandi
Penonton begitu tenggelam dalam alur cerita film Rumah di Seribu Ombak yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya Erwin Arnada.

PEKALONGAN, iNewspantura.id – Kebebasan yang terampas agaknya menjadi perihal yang begitu karib dengan para penulis. Banyak penulis yang melahirkan karya-karya monumentalnya justru dari dalam penjara. Tak pelak, nama Pramoedya Ananta Toer menjadi tokoh yang populer di antara deretan nama penulis-penulis lain yang menulis dari penjara.

Hal serupa juga dialami Erwin Arnada. Perjalanannya mengawal terbitnya majalah yang mengundang kontroversi itu sempat menuntunnya melewati lorong-lorong penjara. Memaksanya mendekam di salah satu sel di LP Cipinang.

Tak mau menyia-nyiakan waktu, ia melewati hari-harinya di dalam penjara dengan menulis. Baginya, menulis adalah cara terbaik untuk memelihara kewarasan. “Ketimbang bingung mau ngapain, ya nulis saja. Apalagi pekerjaan saya memang menulis,” tutur Erwin saat menyingkap proses kreatifnya dalam acara Bahas Buku dan Nonton FilmRumah di Seribu Ombak” yang digelar di kafe Kopi Candu, Selasa malam (26/7/2022). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Gergaji Jantung Entertainment berkolaborasi dengan Kopi Candu Pekalongan.

Alumni Sastra Rusia, Universitas Indonesia itu mengaku, saat menuliskan novel Rumah di Seribu Ombak itu tak ada kesulitan yang menghambat. Novel yang kemudian diadaptasikan menjadi film itu ditulis berdasarkan beberapa kisah nyata yang didapat dari penelusurannya sebagai seorang jurnalis, selama ia bertugas di Bali.

“Awalnya, tulisan ini mau saya jadikan semacam laporan jurnalistik dengan menggunakan pendekatan penulisan fiksi. Ya, semacam jurnalisme sastra. Namun, dalam perjalanannya saya berpikir terlalu sayang jika hanya menjadi laporan jurnalistik. Lalu, sekalian saja saya fiksikan kisah ini, hingga jadilah sebuah novel,” ungkap Erwin.

Tak butuh waktu lama, novel Rumah di Seribu Ombak itu ia selesaikan dalam waktu tiga bulan. Namun, sebelum dicetak menjadi buku, selepas ia menghirup udara kebebasan, ia menyempatkan diri untuk mendiskusikan tulisan itu dengan beberapa tokoh Bali. Demi memantapkan rencananya untuk menerbitkan tulisannya menjadi novel.

“Ada beberapa yang dikoreksi. Terutama tentang khazanah budaya Bali,” akunya sambil tersenyum.

Ia mengakui, kesan yang tertangkap di dalam novel karyanya itu adalah suasana dan emosi yang dipenuhi kemuraman. Hal itu tak lepas dari pengalaman batinnya selama di dalam penjara. “Boleh dibilang itu semacam protes ya. Tetapi, bukan protes yang sekadar marah. Lewat novel ini ada keinginan untuk mengungkapkan hal-hal yang mestinya mendapatkan perhatian lebih dari semua pihak,” ujarnya.

Dikisahkannya, novel Rumah di Seribu Ombak berlatar kehidupan masyarakat Bali yang guyup rukun. Persoalan beda agama bukan lagi masalah yang meruncing. Malah, kehidupan masyarakat Bali sudah sangat toleran. Kehidupan tersebut digambarkan melalui kisah persahabatan antara tokoh Samihi dan Wayan Manik. Keduanya berasal dari keluarga yang berbeda keyakinan. Mereka hidup bersama dan saling menolong satu sama lain.

Akan tetapi, di balik persahabatan itu terdapat permasalahan lain yang sungguh memrihatinkan. Wayan Manik, saat masih kanak-kanak, menjadi seorang korban pedofilia oleh seorang turis asing. Mula-mula ia tak menerima nasib itu. Keadaanlah yang akhirnya memaksa ia menerimanya. Terlebih, ia hidup hanya bersama ibunya yang sakit-sakitan dan tak sanggup membiayai sekolahnya. Upah yang diterima dari turis asing itu pun akhirnya ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lain halnya Samihi. Meski hidup dalam keluarga yang sederhana, ia tergolong memiliki kesempatan lebih baik untuk bersekolah. Memahami kondisi Wayan Manik, ia pun berusaha membantu agar sahabatnya kembali bersekolah. Sayang, agaknya keinginan itu menemui banyak rintangan.

Dengan memfiksikan kisah nyata itu, Erwin merasa hal itu akan lebih mengena dan memanggil banyak pihak untuk turut memikirkan dan memberi perhatian lebih. Terbukti, dari novel dan film itu, ia sempat membuat sejumlah pihak menyalurkan bantuan kepada anak-anak di Bali yang berasal dari keluarga kurang mampu agar kembali bersekolah.

“Ya, itulah box office film saya ini. Bukan karena banyak ditonton, melainkan karena banyak orang yang akhirnya terpanggil untuk melakukan sesuatu,” tukas Erwin.

Dari pengalaman penjara ini pula, Erwin mendapatkan pelajaran berharga. Bahwa penjara bukan sebuah keterampasan kebebasan, melainkan menjadi kebebasan dalam wajah yang lain. Penjara, selain memberinya keleluasaan untuk menulis, ternyata juga memberi peluang bagi lahirnya kebaikan-kebaikan yang lain.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network