PEKALONGAN, iNewspantura.id – Jual diri itu nggak selamanya buruk. Demikian ungkap seorang fotografer Pekalongan, Sarbu Riyono, dalam obrolan Rehat Malam yang disiarkan via Radio Kota Batik, Pekalongan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, makna dari istilah jual diri bisa sangat banyak. Tidak terbatas pada hal-hal yang selalu dikonotasikan negatif. Seperti yang dialaminya sebagai seorang juru foto.
“Sebagai seorang fotografer, kerjaan saya ya nunggu panggilan. Makanya, kalau dalam guyon itu saya selalu menyebut diri saya sebagai laki-laki panggilan,” akunya sambil tertawa lepas.
Bagi lelaki yang khas dengan topi pancing alias bucket hat, pekerjaan sebagai fotografer memang tidak lepas dari panggilan telepon. Terutama, dari para pengguna jasa fotografinya. Entah itu untuk keperluan hajatan, event, atau lain-lain.
Meski begitu, ia mengaku selalu menuntut dirinya sendiri untuk bekerja secara profesional. Ia tidak mau menghasilkan foto-foto yang biasa-biasa saja, yang tanpa kesan mendalam bagi pengguna jasanya maupun bagi penikmat seni fotografi. Baginya, memotret bukan pekerjaan asal jadi. Akan tetapi, memerlukan ide dan konsep yang jelas agar foto-foto yang dihasilkan pun memuaskan, baik bagi pengguna jasanya maupun secara artistik.
Terlebih-lebih, ia telah menekuni dunia fotografi cukup lama. Yaitu, sejak 29 tahun silam. Diawali dari bekerja pada sebuah studio foto kenamaan di Kota Pekalongan, hingga akhirnya seperti saat ini. Menjadi seorang fotografer lepas.
“Awalnya, saya itu penasaran. Seperti apa sih dunia fotografi itu. Lalu, saya coba-coba saja melamar pekerjaan di sebuah studio foto. Waktu itu, saya benar-benar masih nol pengalaman. Benar-benar buta soal fotografi. Tetapi, selama bekerja di situ, saya banyak mendapatkan pelajaran tentang berbagai hal yang berkenaan dengan dunia fotografi,” tutur Sarbu Riyono.
Masa-masa awal bekerja di studio foto dijalaninya dengan enteng saja. Belum terpikir olehnya untuk menjadikan fotografer sebagai pekerjaan. Boleh dibilang, sekadar menyalurkan hobi. Apalagi pada saat itu pekerjaan sebagai tukang foto (sebutan fotografer di era itu) tak begitu menjanjikan.
Kesan itu terungkap lewat kisahnya yang menekuni sebagai seorang tukang foto keliling. “Tukang foto, pada masa itu, biasanya berkeliling dari kampung ke kampung dengan sepeda. Setiap sore, saya berkeliling. Biasanya, di waktu-waktu itulah para ibu baru saja memandikan anak-anak mereka. Kalau ada yang minat untuk memotret anaknya, pasti mereka akan memanggil dan meminta saya memotret anak-anak itu,” kisahnya.
Meski demikian, Sarbu mengaku bahagia dengan kisah itu. Terutama, pada saat ia menemui anak-anak yang dibedaki Ibunya. “Biasanya, bedaknya nggak rata. Pating blentong. Tapi, itu menarik dan mengasyikkan bagi saya. Bahkan, saking menariknya, foto-foto mereka sampai saat ini masih saya simpan,” kenangnya.
Pengalaman unik itu pula yang rupanya membuat Sarbu bertahan di jalur fotografi. Karena menurutnya, dunia fotografi adalah dunia manusia. Lewat foto yang dibuatnya, ia menemukan keasyikan tersendiri untuk memahami karakter manusia. Ia tak peduli lagi anggapan minir tentang tukang foto keliling.
“Tukang foto keliling itu dulu dianggap sekadar pemburu receh. Tetapi, saya yakin, dari yang receh lama-lama kalau dikumpulin ya bisa jadi lebih besar lagi. Jadi, kalau ditanya apakah saat itu saya nyesel, nggak lah. Kalau nyesel, sudah pasti saya akan berhenti sejak lama,” ujar Sarbu datar.
Di lain hal, Sarbu juga menuturkan, bahwa dirinya tak mengalami kesulitan saat dunia fotografi berkembang pesat seperti sekarang ini. Meski ia mulai mengenal fotografi analog, rupanya ia lihai pula memainkan fotografi digital.
“Justru saya merasa sangat beruntung. Sebab, prinsip dasar fotografi sudah saya kuasai. Memang, agak repot ketika saya menekuni fotografi analog. Saya harus mencatat semua detailnya, baik fokus, diafragma, intensitas cahaya, dan lain-lain. Akan tetapi, dengan digital saya dimudahkan. Hanya, soal kepuasan artistik, memang lebih asyik fotografi analog. Soalnya, hasilnya nggak langsung bisa kita lihat. Bikin dag-dig-dug!” ujarnya enteng.
Selain itu, Sarbu mengaku masa transisi analog ke digital menuntutnya untuk lebih mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya berkenaan dengan manajemen keuangannya. “Harga kamera sekarang mahal. Jadi, saya harus bisa mengelola dengan lebih baik budget-nya,” ungkap Sarbu.
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait