Hidup-Matinya Sastra di Tangan Para Sastrawan

Ribut Achwandi
Achmad Sya'roni (berjaket PRSSNI) tengah berpose bersama sahabatnya sesama seniman, Muhammad Keling.

PEKALONGAN, iNewspantura.co – Hidup-matinya sastra bergantung pada pelakunya. Selama para pelaku sastra masih memiliki kemauan untuk terus berkarya, mengapresiasi, dan mempertajam kualitas diri dan karyanya, sastra tidak akan pernah mati. Begitulah tutur Achmad Sya’roni, penggiat sastra yang sekaligus seorang penyiar radio senior dalam obrolan via telepon di program siaran Kojah Sastra yang ditayangkan di Radio Kota Batik, semalam (Kamis, 4/8/2022).

Kecanggihan teknologi yang belakangan ini menggurita di masyarakat, baginya, bukanlah alasan untuk menghentikan aktivitas bersastra, khususnya puisi. Teknologi, menurutnya, memang sudah menjadi kodratnya untuk terus berkembang. Tetapi, perkembangan teknologi ini mestinya dimaknai secara positif di dalam upaya menggelorakan dunia kesusastraan. Khususnya, di daerah seperti di Pekalongan raya ini.

“Digitalisasi itu memudahkan. Maka, dengan digitalisasi, siapapun bisa menembus batas-batas teritorial lintas negara. Ini kesempatan yang luar biasa bagi para seniman, khususnya para sastrawan Pekalongan untuk dikenal dunia,” ujarnya.

Dengan begitu, menurutnya, tesis mengenai era kematian sastra akibat dari kemunculan media baru dapat dipatahkan. Sekalipun media informasi yang demikian membanjiri kehidupan manusia, terutama melalui media sosial, hal itu tidak membendung kerinduan umat manusia di seluruh permukaan bumi untuk membaca atau mendengarkan kisah-kisah. Baik itu kisah dari masa lampau, maupun kisah yang terkini.

Dalam tuturannya, Achmad Sya’roni juga mengungkapkan bagaimana dahulu radio memiliki daya yang cukup kuat untuk menggemakan puisi. Ia mengisahkan pengalamannya saat bersiaran di radio. “Di era akhir 70an, 80an, dan awal 90an, siaran-siaran radio bernuansa sastra cukup kental. Dulu, saya malah sempat membikin program baca puisi secara rutin. Banyak tokoh sastrawan Pekalongan yang akhirnya terlibat,” ujarnya.

Pengaruh siaran sastra di radio juga mampu menarik para tokoh sastra sekelas Emha Ainun Nadjib, W.S. Rendra, dan lain-lain. Mereka sempat pula berkunjung ke Pekalongan. Bahkan, sampai membuat rekaman pembacaan puisi yang kemudian ditayangkan di radio.

“Dengan kemudahan yang terjadi sekarang ini, semestinya geliat bersastra di Pekalongan ini makin kuat. Apalagi masih banyak tokoh-tokoh di Pekalongan yang menyetiai dunia sastra,” tegasnya.

Ia menyarankan, dalam pengelolaan siaran sastra di radio perlu upaya-upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Selain itu, dibutuhkan pula kekompakan semua elemen yang masuk ke dalam dunia sastra di Pekalongan. Terlepas dari segala macam perbedaan ideologi dan idealisme, menurutnya, sastra bukan sekadar berpuisi. Akan tetapi, sastra memiliki fungsi yang lebih dalam lagi.

“Sastra itu melembutkan hati setiap orang yang membacanya. Maka, tepatlah jika sastra dijadikan sebagai bahan bakar bagi pembangunan karakter manusia, khususnya bagi warga Kota Pekalongan dan sekitarnya,” tukasnya.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network