Sekalipun maju, peradaban sebuah bangsa tidak akan mampu bertahan lama jika kemajuan tersebut justru mencabut bangsa dari akar sejarahnya. Pembangunan hanya akan dipusatkan pada bentuk fisik, sementara pembangunan manusia akan cenderung diabaikan.
Alih-alih mendatangkan maslahat, kemajuan tersebut malah menjadi bumerang bagi eksistensi bangsa. Alhasil, masyarakat malah dihantui dengan beragam kondisi yang membingungkan.
Hal itu terungkap dari tuturan K.R.T. Manu J. Widyaseputra dalam sebuah tayangan video di kanal YouTube caknun.com beberapa waktu lalu. Menurutnya, berbagai persoalan yang belakangan muncul tidak lain diakibatkan oleh tercerabutnya eksistensi bangsa dari akar sejarahnya sendiri.
Lebih khusus, pakar filologi Sanskerta ini mengungkapkan, salah satu bentuk ketercerabutan akar sejarah itu tampak melalui sistem kekuasaan yang berlaku saat ini. Ia menyayangkan, kehadiran sistem ketatanegaraan asing yang memengaruhi sistem kekuasaan Nusantara membuat gelombang perubahan yang menjauhkan bangsa ini dari asal-usulnya. Jati diri sebagai sebuah bangsa besar pun menjadi tak lagi memiliki arti.
Romo Manu menyebutkan, eksistensi kerajaan-kerajaan di Nusantara saat ini tengah mengalami degradasi. Seperti yang terjadi pada dua pusat kekuasaan Jawa, Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakartahadiningrat. Keduanya, bahkan dinilai telah kehilangan wibawa.
“Ketika menjadi raja, misalnya Surakarta, itu Pakubuwono sekarang sudah sampai 13. Ini sudah tidak ada artinya sekarang. Karena setelah 9 itu sudah selesai,” ujar Romo Manu.
Hal serupa juga terjadi di Keraton Jogja. Menurutnya, pada saat HB IX menyatakan ikut NKRI, sebenarnya kerajaan sudah mengalami masa Pralina. “Sarusnya sudah ada regenerasi (saat itu). Kalau di Surakarta regenerasinya itu mesti agak ramai, di jogja itu belum pernah ada regenerasi,” terang Romo Manu.
Romo Manu menerangkan, dalam sistem tata negara ala kerajaan-kerajaan Nusantara Kuno, telah disepakati bersama bahwa usia kekuasaan tidak bisa lebih dari 9 raja. Selepas itu, kekuasaan harus diregenerasi melalui dharmayudha.
Proses peralihan kekuasaan ini tidak dilakukan dengan cara perebutan kekuasaan. Akan tetapi, dilakukan dengan cara yang elegan. Ketika tampuk kekuasaan telah dialihkan kepada raja baru, maka tugas raja baru adalah membawa kekuasaan ini menuju pada tingkatan watak kekuasaan yang lebih baik. Sementara, keberadaan kekuasaan/kerajaan lama masih tetap diakui eksistensinya. Hanya, secara fungsi, kerajaan lama tidak lagi dijadikan pusat kekuasaan.
Sistem tata negara kerajaan-kerajaan lama inilah yang menurut Romo Manu menjadi sistem yang ideal saat itu. Di masa sekarang, sistem ini agaknya dilupakan bahkan dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa-bangsa Nusantara.
Tersebab itu, ia memandang wajar jika belakangan negeri ini kerap terjadi kekisruhan. Tidak lain karena pelanggaran aturan-aturan yang sudah disepakati dan ditetapkan berabad-abad lalu. “Kalau sekarang ini situasi menjadi kacau balau itu, ya layak karena aturan-aturan ini tidak diikuti dengan baik oleh adat kita sendiri. Ini peradaban kita, yang harus kita pahami,” tandas Romo Manu.
Romo Manu menengarai, dengan pegangan pada sistem ketatanegaraan yang khas Nusantara, potensi kekisruhan politik bisa diurai dan diminimalisir. “Negeri nusantara ini sebetulnya kalau tidak dicampuri ketatanegaraan dari negeri asing itu damai-damai saja. Itu karena hampir di seluruh kerajaan di nusantara itu menganut dharmayudha, bukan kuthayudha. Sehingga, pergantian regenerasi itu akan berlangsung dengan dharma tidak dengan cara kasar,” ungkapnya.
Romo Manu menambahkan, pasca HB IX mangkat, regenerasi itu bisa saja dilakukan dengan mengganti nama sebutan raja. Tidak lagi menggunakan Hamengkubuwana. “Entah namanya siapa, harusnya sudah berganti. Situasinya sudah berganti,” tuturnya.
Hal senada juga mestinya yang dilakukan oleh Keraton Surakarta (Pakualaman), yang saat ini sudah mencapai raja ke-13. Oleh karenanya, Romo Manu mengingatkan kembali, bahwa para raja pada hakikatnya sudah seharusnya memahami konsep tentang tahap-tahap perkembangan kerajaan/kekuasaan, Bhawacakra. Konsep ini memiliki tiga tahapan penting yang harus dilalui oleh kekuasaan. Yaitu, masa lahir (upati), masa hidup (setiti), dan masa peralihan/regenerasi (pralina).
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait